Menurut Pintor, risiko utama yang dihadapi pasar global saat ini adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan secara agresif demi meredam tingginya inflasi. Kondisi ini kemudian memicu risiko terjadinya stagnasi perekonomian di tengah lonjakan inflasi (stagflasi).
"Kondisi perekonomian global yang melambat ini dapat memicu risiko terjadinya resesi ekonomi di AS, maupun beberapa negara maju lainnya," tutur Pintor.
Berdasarkan Outlook Pasar Obligasi Semester II yang dirilis oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), kenaikan suku bunga akan memicu naiknya yield US Treasury. Berdasarkan outlook ini, The Fed masih bisa menaikkan suku bunga secara agresif sekitar 50 bps hingga 75 bps di empat pertemuan bulan yang tersisa.
Kenaikan yield US Treasury akan membuat spread antara yield SBN dengan yield US Treasury juga akan semakin menyempit. Secara tren, pergerakan spread yield US Treasury dengan yield SBN acuan 10 tahun memang terus menyempit.
Pada 2021, spread masih berkisar 500 bps, namun, saat ini spread sudah menjadi 425 bps. Dengan kondisi ini, investor akan cenderung memilih US Treasury karena jauh lebih menarik. SBN akan dipandang punya risiko yang tinggi, sementara US Treasury yang merupakan safe haven, juga menawarkan yield yang tidak kalah tinggi.