Sedangkan faktor keempat, adalah kenaikan harga minyak dunia di tengah perkiraan kenaikan suku bunga AS. Kenaikan harga minyak terjadi diantaranya di perdagangan Asia, di tengah kekhawatiran atas lonjakan permintaan bahan bakar.
"Terakhir, faktor pendorong kelima, adalah isu kenaikan BBM hingga detergen yang bakal dikenai cukai. Meski Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan, Askolani, menegaskan pihaknya tidak ada rencana menjadikan bahan bakar minyak (BBM), ban karet, dan detergen sebagai barang kena cukai (BKC)," ungkap Pintor.
Kelima faktor itu, lanjut Pintor, coba diimbangi dengan katalis berupa konsolidasi fiskal dengan tren defisit APBN yang mengalami penurunan. Selain itu, pemulihan ekonomi yang berlanjut dan dipertahankannya sovereign rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional juga menjadi katalis positif lain yang bisa diharapkan sebagai penyeimbang.
Selain itu, sentimen positif disebut Pintor juga berasal dari dipertahankannya suku bunga acuan BI, berlanjutnya skema burden sharing dan quantitative easing (QE) oleh Bank Indonesia sebagai dukungan untuk menjaga pasar obligasi tanah air. Total pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dan QE SBN oleh BI sepanjang tahun 2020 sebesar Rp 473,42 triliun melalui pembelian di pasar perdana dan private placement sedangkan di tahun 2021 dilanjutkan sebesar Rp 358,32 triliun.
Tak hanya itu, injeksi likuiditas melalui pasar sekunder dikucurkan BI sebesar Rp750,38 triliun pada tahun 2020 dan Rp 147,83 triliun pada tahun 2021.