IDXChannel – Perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang dihadapi seluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai upaya memerangi perubahan iklim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Salah satu ancamannya berasal dari emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu.
“Menurut penelitian, Indonesia akan terkena dampak sebesar 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB (produk domestik bruto) kita pada tahun 2030 karena perubahan iklim,” katanya secara daring dalam acara B20-G20 Dialogue: Energy, Sustainability, and Climate Task Force pada Selasa (30/8), dilansir dari Kementerian Keuangan.
Adapun, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021, Indonesia telah menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada tahun 2019.
Selain itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa adanya kenaikan suhu permukaan yang lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022 juga mengatakan,suhu udara permukaan global hingga akhir 2021 telah memanas sebesar 1,11°C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900).
Emisi gas rumah kaca terjadi semenjak dimulainya Revolusi Industri di Inggris antara tahun 1750-1850. Di periode ini, terjadi pemanfaatan batu bara besar-besaran untuk skala industri dimana hal tersebut terus berlanjut hingga saat ini.
Terus meningkatnya suhu permukaan pada beberapa dekade terakhir merupakan wujud dari pemanasan global.
Menanggapi permasalahan tersebut, Indonesia bersama berbagai negara lainnya berkomitmen untuk menanggulangi perubahan iklim yang tercantum dalam dokumen National Determined Contribution (NDC), yang diperbaharui pada 2021 lalu.
Sementara target Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 mendatang.
Transisi Energi Jadi Solusi Tangani Perubahan Iklim
Data KLHK per 2021 menyampaikan, sektor energi menyumbang emisi gas rumah kaca nasional terbesar, yakni mencapai 638,8 juta ton CO2e di tahun 2019.
Ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca seiring dengan isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 yaitu sustainable energy transition atau transisi energi berkelanjutan.
Adapun Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis, Yudo Dwinanda mengatakan ForumTransisi Energi dalam format Energy Transitions Working Group (ETWG) berfokus pada akses, teknologi, dan pendanaaan.
“G20 diharapkan dapat mencapai kesepakatan bersama dalam mempercepat transisi energi global, sekaligus memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan,” katanya, dilansir dalam siaran pers Kementerian ESDM, Kamis (6/1).
Selain itu, transisi energi juga harus dilakukan secara tepat agar pertumbuhan Indonesia tidak terganggu. Dengan demikian, Indonesia perlu mengoptimalkan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) agar kedepannya dapat mengurangi ketergantungan akan batu bara.
EBT merupakan sumber energi yang dapat cepat dipulihkan secara alami dan prosesnya berkelanjutan. Adapun sumber energi tersebut dapat berasal dari tenaga surya, angin, arus air, proses biologi hingga panas bumi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut mengingatkan agar pengembangan ekonomi hijau benar-benar menjadi komitmen pemerintah.
“Harus kita pastikan berjalannya investasi itu untuk menggeser pembangkit batu bara dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan,” katanya, dalam sidang kabinet paripurna, Rabu (17/11/2021).
Adapun Jokowi mendapatkan komitmen investasi dari Inggris yang jumlahnya mencapai USD9,29 miliar untuk investasi dalam rangka transisi energi dan ekonomi hijau. Di samping itu, pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen dalam mempercepat transisi energi.
Selain mematok target bauran energi dan EBT sebesar 25 persen di tahun 2025, Jokowi juga menegaskan komitmen Indonesia dalam memenuhi Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Teranyar, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik pada Selasa (13/9) lalu.
Perpres tersebut turut mengatur tentang harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan EBT. Adapun mengutip Perpres 112 Tahun 2022, harga patokan tertinggi pembelian tenaga listrik Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yaitu 3,76 cent USD/kWh.
Sementara harga patokan tertinggi untuk pembelian tenaga listrik Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) sebesar 9,29 cent USD/kWh.
Selain itu, dalam Perpres tersebut juga mengatur harga patokan pembelian tenaga listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Fotovoltaik, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bio Gas (PLTBg). (Lihat grafik di bawah ini.)
Sejumlah Emiten Berkontribusi di Sektor EBT di Tanah Air
Di Tanah Air, pemanfaatan EBT sudah mulai marak dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan yang berfokus di sektor energi bersih. Selain itu, terdapat beberapa perusahaan EBT yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Salah satu emiten yang berkecimpung di industri EBT adalah PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY). Perusahaan ini merupakan produsen energi surya dengan pabrik sel surya pertama di Indonesia.