Namun demikian, argumen para petinggi bank sentral Uni Eropa dan AS dibantah oleh sebagian pengamat ekonomi dunia. Mereka mengakui bahwa berdasarkan teori ekonomi, inflasi yang tinggi akan mendorong konsumen untuk membelanjakan lebih banyak daripada mengambil risiko dengan mengandalkan uang tunai yang nilainya menurun sepanjang tahun.
Dalam pemahaman ini, maka biaya pinjaman (suku bunga) yang tinggi akan membatasi dorongan belanja tersebut. Namun, servei terbaru justru menunjukkan bahwa konsumen telah menyadari bahwa inflasi yang tinggi merupakan pertanda baik dari kelumpuhan ekonomi, sehingga meresponnya dengan menghentikan pengeluaran, dan menabung lebih banyak.
Kelompok masyarakat yang telah sadar ini, mungkin menginginkan pekerjaan baru dan kenaikan gaji, namun lebih ketakutan terhadap masa sulit, yang membuat mereka tetap bekerja dan menelan berapa pun kenaikan gaji yang ditawarkan. Di lain pihak, pertumbuhan upah di Agustus 2022 justru turun ke level terendah sejak Maret 2022, menurut survei ketenagakerjaan Inggris terbaru S&P Global.
"Melihat lebih dekat pada sifat inflasi ini akan membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi bank sentral. Inflasi sebagian besar diimpor. Sebagian besar impor yang terkena dampak adalah kebutuhan pokok, seperti energi dan pangan. Orang dan bisnis perlu membeli energi dan makanan, sehingga kebijakan moneter (kenaikan suku bunga) hanya berdampak kecil pada berapa banyak yang mereka beli," ujar Mantan Kepala Ekonom Citigroup Inc, Catherine Mann, dalam laporan yang sama.
Kekurangan produk adalah faktor lain yang menaikkan harga toko, namun menurut Mann, masalah yang ada dapat ditelusuri kembali dari kebijakan lockdown di pabrik-pabrik di China. Dengan demikian, faktor kenaikan suku bunga di Inggris tidak akan berpengaruh untuk dapat menekan harga.