IDXChannel – Saham emiten tambang nikel kembali menguat pada Rabu (24/12/2025), seiring berlanjutnya penguatan harga komoditas logam acuannya di akhir tahun meski pergerakannya masih berfluktuasi.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 10.32 WIB, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melesat 4,71 persen ke Rp5.225 per unit. Dalam sepekan, saham ini sudah melambung 33,29 persen.
Di bawah INCO, saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) meningkat 3,52 persen ke Rp735 per unit, PT Harum Energy Tbk (HRUM) yang tumbuh 2,36 persen, dan PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE) 1,56 persen.
Kemudian, saham PT Timah Tbk (TINS) terkerek 0,91 persen dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang menghijau 0,45 persen.
Menurut Trading Economics, harga nikel turun ke level USD15.896,50 per ton pada Rabu (24/12), melemah 0,18 persen dibandingkan hari sebelumnya.
Meski demikian, dalam sebulan terakhir harga nikel masih naik 6,54 persen dan menguat 2,79 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, berdasarkan perdagangan kontrak contract for difference (CFD) yang mencerminkan pasar acuan komoditas tersebut.
Kolumnis Reuters Andry Home mengatakan pada Selasa (23/12), nikel saat ini menikmati penguatan menjelang akhir tahun seiring kembali munculnya harapan bahwa Indonesia mampu menahan laju pertumbuhan produksinya pada 2026.
Menurutnya, kondisi tersebut mencerminkan dinamika pasar nikel saat ini.
Ia menulis, gangguan pasokan dan dislokasi tarif telah mewarnai pergerakan logam dasar di London Metal Exchange (LME) sepanjang tahun ini.
Gambaran permintaan memang belum terlalu menggembirakan, namun tekanan pada rantai pasok tetap mampu mendorong Indeks LME (LMEX), yang mencakup enam kontrak logam dasar di bursa tersebut, ke level tertinggi sejak rekor sepanjang masa pada 2022.
Harga nikel kini berada di level tertinggi dalam lebih dari sebulan, setelah pekan lalu sempat menyentuh posisi terendah dalam lebih dari delapan bulan.
Kenaikan ini terjadi seiring sinyal dari Indonesia yang berencana memangkas produksi secara tajam pada 2026.
Mengutip Trading Economics, dalam rencana kerja pemerintah, target produksi nikel ditetapkan 250 juta ton, turun dari sekitar 379 juta ton di 2025. Langkah tersebut diambil untuk menekan kelebihan pasokan yang selama ini menekan harga dan membebani pasar global.
Pemangkasan produksi itu muncul di tengah perkiraan surplus global sebesar 209 juta ton pada 2025, yang diperkirakan melebar menjadi 261 juta ton pada tahun berikutnya. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 65 persen dari kelebihan pasokan tersebut.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga berencana merevisi formula harga acuan bijih nikel, termasuk kemungkinan memisahkan produk sampingan seperti kobalt serta menerapkan royalti. Kebijakan ini berpotensi semakin memperketat pasokan.
Analis menilai pembatasan produksi tersebut akan menopang harga, terutama di saat harga nikel masih berada di dekat biaya produksi (production cost) di sejumlah wilayah pertambangan utama. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.