IDXChannel – Koreksi yang kembali menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada awal Juli membuka ruang bagi investor untuk memilih strategi yang sesuai dengan profil dan jangka waktu investasinya.
Analis menilai, saham-saham perbankan tetap menarik untuk jangka panjang, sementara saham energi dan petrokimia milik konglomerat dinilai lebih cocok untuk pelaku pasar jangka pendek.
“Jika seorang investor yang memiliki holding period di atas 1 tahun, maka ini adalah momen yang tepat untuk membeli saham-saham perbankan,” ujar pengamat pasar modal Michael Yeoh, Rabu (2/7/2025).
Ia menilai, pada level harga saat ini, saham bank-bank besar menawarkan potensi dividen yang menarik untuk tahun depan.
“Di level sekarang, potensi dividen yang akan dibagikan tahun depan di area sekarang cukup besar,” imbuhnya.
Akan tetapi, pendekatan berbeda disarankan bagi pelaku pasar jangka pendek atau alpha seeker, yang biasanya mengincar kinerja di atas pasar dan lebih responsif terhadap sentimen.
“Namun, bagi alpha seeker, saham perbankan justru saham yang paling dihindari saat ini karena tekanan outflow dari asing,” kata Michael.
Sebagai alternatif, ia menyarankan saham-saham sektor energi dan petrokimia yang menunjukkan ketahanan saat pasar terkoreksi.
“Saham-saham seperti PGEO, BRPT, TPIA yang tertahan pada saat market koreksi seperti ini bisa menjadi pilihan bagi pelaku market jangka pendek,” tuturnya.
Di sisi lain, IHSG mengawali Juli dengan tekanan lanjutan, sejalan dengan tren pelemahan yang sudah terjadi sejak bulan lalu.
Hingga penutupan sesi I perdagangan Rabu (2/7), IHSG turun 0,91 persen ke level 6.852,71, dengan nilai transaksi Rp5,87 triliun. Sebanyak 391 saham melemah, hanya 208 yang menguat, dan 361 sisanya stagnan.
Dengan ini, indeks acuan tersebut sudah tergerus 3,01 persen dalam sebulan belakangan.
Michael menyoroti, tekanan IHSG tak bisa dilepaskan dari pelemahan bursa regional. Namun, ia mencatat bahwa di Indonesia, penurunan lebih tajam karena bertepatan dengan laporan keuangan sektor perbankan yang mengecewakan.
“IHSG mengalami kontraksi yang paling berat karena bertepatan dengan laporan keuangan perbankan yang mengalami pelemahan, terutama dari BBRI, BMRI, dan BBNI,” jelasnya.
Secara rinci, BBRI tercatat turun 15 persen yoy, BBNI melemah 1 persen yoy, dan BMRI hanya naik tipis 0,5 persen yoy. Sementara itu, hanya BBCA yang masih mencatatkan pertumbuhan laba.
Selain faktor kinerja emiten, likuiditas pasar juga tertekan akibat derasnya aksi korporasi. Ada enam IPO yang masuk pasar, termasuk emiten jumbo CDIA milik Prajogo Pangestu yang tengah melakukan penggalangan dana sebesar Rp2,3 triliun.
Michael juga melihat tekanan teknikal belum selesai. Ia menyebut IHSG membentuk pola bearish double top dengan potensi koreksi ke gap di level 6.538, seiring tekanan jual asing yang belum mereda. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.