IDXhannel - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap alasan mengapa dalam sepekan wilayah di Asia Tenggara hingga Asia Selatan mengalami suhu udara hingga 45 derajat Celcius.
BMKG juga melaporkan dari informasi Badan Meteorologi negara-negara Asia Tenggara dan Selatan, suhu sangat panas diperkirakan berlangsung hingga akhir April 2024 dan meluruh di bulan Mei 2024.
"Kondisi ini mengakibatkan ribuan sekolah terpaksa meliburkan siswanya, terjadinya gangguan kesehatan, banyak warga yang mengungsi ke taman, resort atau gedung-gedung berpendingin ruangan seperti mal, di Thailand mengakibatkan kematian sekitar 30 orang warganya," tulis BMKG dari laman sosial media resminya, Jumat (10/5/2024).
Sementara itu, Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat rekor suhu global tertinggi pada tahun lalu dan wilayah Asia menunjukkan peningkatan pemanasan yang sangat tinggi. Penelitian ilmiah menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan gelombang panas (heatwave) menjadi lebih sering, lebih lama, dan lebih intens.
BMKG pun mengatakan bahwa pada Maret, April, dan Mei biasanya merupakan bulan-bulan terpanas dan terkering sepanjang tahun di Filipina. Namun, kondisi tahun ini diperburuk karena fenomena El Nino masih berlangsung.
Lalu, cuaca panas di sejumlah negara termasuk Asia termasuk gelombang panas (heatwave)?
BMKG menjelaskan gelombang panas adalah fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan dengan kriteria terjadi selama lima hari atau lebih secara berturut-turut di mana suhu maksimum harian di wilayah tersebut lebih tinggi dari 5 derajat Celcius atau lebih dari suhu maksimum rata- ratanya.
"Fenomena gelombang panas ini umumnya terjadi di wilayah dengan lintang menengah hingga lintang tinggi seperti di negara-negara Asia bagian utara, Australia, Afrika bagian Selatan, Eropa dan Amerika," jelas BMKG.
Gelombang panas, kata BMKG, dapat terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah yang sangat luas. Anomali dinamika atmosfer ini pada umumnya disebabkan adanya sistem tekanan tinggi dalam skala yang sangat luas dan pada rentang waktu yang cukup lama.
"Kondisi ini menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalir masuk ke area tersebut sehingga semakin lama sistem tekanan tinggi ini bertahan di suatu area, maka semakin meningkat panas dan semakin sulit awan tumbuh di area tersebut," paparnya.
BMKG mengungkapkan gelombang panas pernah terjadi di sebagian besar wilayah di dunia. Saat ini gelombang panas sedang melanda Asia Selatan dan Asia Tenggara, ratusan juta orang merasakan panas yang menyengat.
Gelombang panas diproyeksikan akan semakin panas di masa depan seiring dengan semakin parahnya perubahan iklim.
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh University of Bristol berdasarkan data ERA5, menghasilkan peta global dari rata- rata suhu panas paling ekstrem yang teramati terhadap iklim pada periode Januari 1950 hingga Agustus 2021. Sementara Indonesia tidak pernah mengalami fenomena heatwave.
BMKG mengungkapkan jika fenomena suhu panas yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah gelombang panas (heatwave), karena memiliki karakteristik fenomena yang berbeda.
Cuaca panas di Indonesia dipicu oleh faktor pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan.
Wilayah Indonesia, kata BMKG, terletak di sekitar ekuator dengan kondisi geografis kepulauan dan dikelilingi perairan yang sangat luas. Karakteristik dinamika atmosfernya berbeda dengan daerah yang berada di wilayah lintang tengah dan lintang tinggi.
Wilayah Indonesia juga memiliki variabilitas perubahan cuaca yang sangat cepat. Perbedaan ini menjadikan wilayah Indonesia tidak mengenal fenomena gelombang panas.
“Fenomena suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia saat ini bukanlah gelombang panas. Panas dan gerah yang sekarang terjadi namun dipicu oleh faktor pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan,” paparnya.
Sementara, BMKG mengatakan kondisi gerah yang dirasakan masyarakat Indonesia akhir- akhir ini juga merupakan salah satu hal yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau, sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi pada periode peralihan ini.
BMKG juga memberikan tips cara menghadapi cuaca panas diantaranya cegah dehidrasi dengan minum air yang banyak. Hindari kontak dengan sinar matahari secara langsung, gunakan topi atau payung.
Kemudian, gunakan sunscreen minimal 30 SPF pada kulit yang tidak tertutup oleh baju sebelum keluar rumah. Selain itu, memakai baju yang berbahan ringan, longgar dan menyerap keringat.
(NIA)