Dia meminta agar Kemensos dan PPATK segera membuka data lebih jauh sehingga tidak memberikan stigma negatif kepada penerima yang notabene-nya masyarakat pra sejahtera.
Sebagai contoh, lanjut Selly, penerima bansos bernama Darsinih yang tertera di KTP dan DTSN, sementara di KYC nama nya menggunakan huruf H, Darsini. Padahal NIK, alamat, dan orang tuanya sama. Namun pencairan tidak bisa dilakukan.
“Tentunya berakibat pada terakumulasinya bantuan sosial. Ketidaksesuaian data ini sering terjadi ketika perpaduan data dilaksanakan antara lembaga, baik antara DTSN dengan adminduk, ataupun dengan KYC perbankan,” kata dia.
Meski upaya upaya mengadvokasi telah dilakukan oleh pekerja sosial. Namun rupanya hal itu tidak lantas membuat penyaluran bisa dilakukan.
Karena itulah, dia meminta PPATK menyelidiki dan merinci sehingga mengetahui siapa yang diuntungkan maupun dirugikan karena maladministrasi.
“Berapa tahun uang itu mengendap di perbankan, adakah pembiaran, apakah ada indikasi pembiaran laporan dari petugas lapangan, dan seterusnya,” kata dia.
“Kecenderungan ini yang kemudian bisa kita analisa. Apakah SPM antara perbankan berbeda atau memang ada agenda setting lain yang mengarah pada tindakan pidana,” katanya.
(Nur Ichsan Yuniarto)