IDXChannel - Eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan kembali diperiksa KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG atau gas alam cair Pertamina tahun 2011-2021. Ini merupakan pemeriksaan dirinya yang kedua setelah ditetapkan sebagai tersangka.
“(Pemeriksaan) 25 pertanyaan saya sudah jawab semua dan saya juga sudah bawa dokumen pendukung untuk mensupport posisi saya,” kata Karen saat keluar dari Gedung KPK, Jaksel, Kamis (5/10/2023).
Karen pada kesempatan ini juga kembali menegaskan tidak pernah membuat kebijakan secara pribadi. Menurut Karen, keputusan kerja sama antara PT Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) adalah keputusan kolektif kolegial.
“Jadi saya juga sudah memberikan statement bahwa tidak ada kebijakan yang saya lakukan secara pribadi maupun keputusan secara pribadi,” jelas dia.
“Semuanya itu adalah kolektif kolegial dan aksi korporasi menjalankan perintah jabatan sesuai dengan yang diperintahkan berdasarkan Perpres Inpres yang tadi sudah saya sebutkan kemarin ya,” tambah Karen.
Karen juga menjawab soal adanya ketiadaan persetujuan Dewan Komisaris dan RUPS terhadap kerja sama antara PT Pertamina dengan CCL. Menurutnya, terdapat memo legal tertanggal 24 Agustus 2013 dimana memang penandatangan kontrak LNG SPA tidak memerlukan persetujuan dari Dewan Komisaris maupun RUPS.
“Dan mengenai persetujuan komisaris kita juga sudah ada memo legal bahwa tidak memerlukan persetujuan komisaris. Mengenai apakah sudah dilakukan kajian, sudah,” tukasnya.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan mantan Dirut PT Pertamina Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair di PT Pertamina tahun 2011-2021 yang merugikan keuangan negara sekira USD140 juta atau setara Rp2,1 triliun.
Kasus ini bermula ketika PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan Liquefied Natural Gas (LNG) sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia sekira tahun 2012. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009 sampai 2040 sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero.
Karen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri.
Produsen yang diajak kerja sama di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction LLC Amerika Serikat. Tapi, saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL.
Keputusan yang diambil Karen tersebut tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh. KPK menyebut Karen juga tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero keputusannya tersebut.
Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan dilingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya, kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Atas kondisi oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero. Perbuatan Karen tersebut menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD140 juta yang ekuivalen dengan Rp2,1 triliun.
Atas perbuatannya, Karen disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
(YNA)