Mahkamah menilai, pegawai ASN mudah diintervensi kepentingan politik, sehingga diperlukan lembaga independen sebagai pengawasnya.
“Terhadap hal tersebut, perlu ada pemisahan fungsi dan kewenangan yang jelas antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan benturan kepentingan,” ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah.
Mahkamah mengatakan, dalam hal ini, pengawas kebijakan tidak hanya berfungsi sebagai pengawas an sich, namun juga sekaligus sebagai penyeimbang yang berada di luar dari pembuat maupun pelaksana kebijakan guna memastikan sistem merit berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan, sehingga mampu menciptakan birokrasi yang profesional, efisien, dan bebas dari intervensi politik serta mampu melindungi karier ASN.
“Adapun wujud lembaga independen dimaksud merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dan membentuknya dikarenakan adanya kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan akuntabel,” kata Guntur.
Permohonan uji materiil ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Pemohon I), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Pemohon II), dan Indonesia Corruption Watch (Pemohon III).
Dalam petitumnya, pemohon I menilai dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas, dan kode etik serta kode perilaku ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab hal demikian telah pula menghilangkan pengawasan independen atas netralitas penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.
Sementara bagi Pemohon II menilai dengan tidak terdapat sistem pengawasan yang independen, ASN dapat dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan partisan pemilihan umum.
Pemohon III berpandangan dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas serta kode etik dan kode perilaku ASN dan dihilangkannya pengawasan independen atas netralitas ASN, akan berdampak pada dilanggengkannya praktik mobilisasi partisan ASN.
(Febrina Ratna Iskana)