Menurutnya, girik merupakan bukti penguasaan hak atas tanah yang biasanya diwariskan dari orang tua. Namun bukti penguasaan lahan ini kerap berganti-ganti dan proses penerbitannya hanya melalui kepala desa atau lurah untuk keperluan perpajakan seperti PBB.
“Misal setiap lurah ganti, menerbitkan baru, ganti baru lagi, nerbitin lagi. Sehingga akhirnya muncul sengketa konflik tumpang tindih. Kalau ini dari sisi yuridis,” lanjutnya.
Selain dari sisi yuridis, Nusron menambahkan potensi konflik pertanahan juga bisa muncul dari peta lokasi fisik, alias ketidaksesuaian antara batas tanah dengan dokumen yang dimiliki oleh masyarakat.
“Kalau ini tidak pruden bisa melahirkan konflik. Kenapa, karena meletakkan peta bidang tidak sesuai. Kita ingin juru ukur, juru survei, itu akurat dan sesuai. Jangan sampai laut diukur, jangan sampai hutan di-plotting,” tegas Nusron.
(Febrina Ratna Iskana)