sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Nusron Ungkap Lahan di Jakarta Bisa Punya Tujuh Girik, Berpotensi Jadi Sengketa Tanah

News editor Iqbal Dwi Purnama
06/08/2025 12:43 WIB
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan satu bidang lahan di Jakarta bisa memiliki lebih dari satu bukti penguasaan, seperti girik.
Nusron Ungkap Lahan di Jakarta Bisa Punya Tujuh Girik, Berpotensi Jadi Sengketa Tanah. (Foto: Iqbal Dwi Purnama/ Inews Media Group)
Nusron Ungkap Lahan di Jakarta Bisa Punya Tujuh Girik, Berpotensi Jadi Sengketa Tanah. (Foto: Iqbal Dwi Purnama/ Inews Media Group)

IDXChannel - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan satu bidang lahan di Jakarta bisa memiliki lebih dari satu bukti penguasaan, seperti girik.

Bahkan dia menyebut satu objek tanah di Jakarta bisa memiliki 6–7 girik. Belum lagi bukti lain seperti surat wasiat atau bentuk lainnya yang menyatakan bukti penguasaan lahan.

“Misal di Jakarta, tumpang tindih, itu masalah double yuridis. Jadi di Jakarta, ada satu objek tanah, itu giriknya bisa 6–7, belum lagi muncul lain-lain,” ujarnya dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Nusron menyatakan kondisi ini bisa menjadi potensi awal konflik sengketa pertanahan di kemudian hari. Sebab, ketika girik ini hendak diajukan menjadi sertifikat hak milik, banyak pihak lain yang mengklaim penguasaan lahan dengan membawa bukti girik.

“Ini namanya pemalsuan, jadi kadang-kadang kita kesulitan membuktikan tentang dokumen pendukung. Terbitnya sertifikat tanah itu kan harus didahului dengan surat pendukung,” kata Nusron.

Menurutnya, girik merupakan bukti penguasaan hak atas tanah yang biasanya diwariskan dari orang tua. Namun bukti penguasaan lahan ini kerap berganti-ganti dan proses penerbitannya hanya melalui kepala desa atau lurah untuk keperluan perpajakan seperti PBB.

“Misal setiap lurah ganti, menerbitkan baru, ganti baru lagi, nerbitin lagi. Sehingga akhirnya muncul sengketa konflik tumpang tindih. Kalau ini dari sisi yuridis,” lanjutnya.

Selain dari sisi yuridis, Nusron menambahkan potensi konflik pertanahan juga bisa muncul dari peta lokasi fisik, alias ketidaksesuaian antara batas tanah dengan dokumen yang dimiliki oleh masyarakat.

“Kalau ini tidak pruden bisa melahirkan konflik. Kenapa, karena meletakkan peta bidang tidak sesuai. Kita ingin juru ukur, juru survei, itu akurat dan sesuai. Jangan sampai laut diukur, jangan sampai hutan di-plotting,” tegas Nusron.

(Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement