Ribuan pelawat Rusia itu juga berinvestasi, membeli properti atau menyewa properti untuk jangka panjang di Thailand.
"Lebih dari 90 persen (klien kami) adalah orang Rusia. Pada November, ketika puncak kedatangan pelawat, mereka membeli segalanya," kata Amin Ettayeb, manajer penjualan dari Moskow untuk InDreamsPhuket, agen real estat di kota resor Phuket kepada VOANews, Senin (27/2/2023).
Agen real estat milik keluarga itu melihat pembelian properti meningkat sebesar 10 persen sejak November. Ettayeb mengatakan harga vila yang dulu disewa kurang dari USD9.000 (sekitar Rp135 juta) per bulan sekarang naik menjadi lebih dari USD28.000.
"Bisnis penyewaan properti benar-benar kacau sekarang," kata Ettayeb. "Vila dulu 300.000 baht per bulan, beberapa di antaranya sekarang 1 juta baht per bulan, tapi orang masih mengambilnya."
Meskipun uang tidak menjadi masalah bagi sebagian orang, Ettayeb mengatakan tidak semua kliennya ingin tinggal di Thailand untuk jangka panjang.
“Tidak banyak orang yang ingin meninggalkan Rusia secara permanen, mereka hanya ingin memastikan bahwa mereka tidak harus berperang,” kata Ettayeb. "Ketika semuanya kembali normal, kemungkinan besar mereka akan kembali."
Data Bandara Internasional Phuket menyebutkan lebih dari 233.000 pelawat Rusia tiba di Phuket antara 1 November dan 21 Januari. Tahun lalu, orang Rusia membeli hampir 40 persen dari semua kondominium yang dijual kepada orang asing di Phuket, menurut Pusat Informasi Real Estat Thailand, mengutip Al Jazeera.
Emil Saliani, yang berasal dari Ukraina, sudah tinggal di Thailand selama beberapa tahun. Dia bekerja sebagai agen penjualan properti dan mitra pengembangan Wyndham Grand dan Natai Beach Resort di Phuket.
"Kami memiliki hotel baru dan satu hotel (yang terletak di) tepi pantai, dan tingkat hunian kami hampir 100 persen. Sekarang kami memiliki lebih dari 50 persen orang Rusia yang tinggal selama 10-14 hari. Tidak ada masalah," kata Saliani.
Pada tahun lalu, ribuan turis Rusia terjebak di Thailand menyusul pengenaan sanksi Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya terhadap Rusia.
Penangguhan layanan kartu kredit Visa dan MasterCard dan penghapusan bank Rusia dari jaringan keuangan SWIFT mengakibatkan warga Rusia tidak bisa mengakses dana pribadi karena nilai tukar Rubel anjlok.
Kini, Rusia masih menghadapi sanksi berat seiring berlanjutnya perang di Ukraina.