Selain itu, dia juga membahas mengenai perbedaan keterbukaan informasi dan informasi yang dirahasiakan (intelejen) dari pers konvensional hingga media sosial.
Menurut Tito, media konvensional sangat berbeda dengan media sosial, di mana semua orang yang memiliki akun dapat menjadi pembuat konten, redaksi, sekaligus owner.
"Ada UU ITE, tapi jika diterapkan ada kecenderungan resistensi dianggap mengurangi hak kebebasan berpendapat. Itu tidak gampang untuk pemerintah menerapkan. Sehingga perlu dalam konvensi ini, bagaimana kontrol media sosial agar berkualitas, jangan sampai damage-nya terlalu besar dibandingkan hal positifnya," kata Tito.
Mendagri melihat kontrol tersebut sebaiknya dilakukan oleh internal, baik melalui UU ataupun mekanisme lainnya. "Berbagai literatur ke depannya menyebutkan pada akhirnya sosial media akan lebih berpengaruh mempengaruhi opini publik dibandingkan konvensional media. Karena begitu masif begitu viral menjadi perhatian publik," terangnya.
Agar media konvensional dapat bertahan dengan gempuran media sosial, Tito melihat kuncinya ada di kualitas pemberitaan yang akurat dengan proses tracing.
"Kami terus melakukan sosialisasi bersama Dewan Pers, Kementerian Kominfo kami melakukan sosialisasi terhadap kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik (KIP) tentang definisi informasi yang dirahasiakan seperti informasi personal seseorang sakit atau transaksi keuangan atau kasus tertentu yang masih dirahasiakan. Ini akan kita koordinasi ke Komisi Informasi Publik," pungkasnya.
(FRI)