“Kepada lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mengajarkan Alquran braille, kepada organisasi, yayasan-yayasan yang memang bergerak di bidang braille itu dan sekolah-sekolah yang mempunyai murid tunanetra. Kita biasanya memberikan ke lembaga-lembaga itu atau juga majelis taklim khusus tunanetra,” kata dia.
Terkait perkembangan mushaf Alquran braille di Indonesia, Sidqi menjelaskan, penyusunan mushaf Alquran Braille dimulai sejak 1974, sejalan dengan pembahasan Mushaf Alquran standar Indonesia. Proses penyusunan memakan waktu sekitar 9 tahun dan disempurnakan pada tahun 1983, kemudian dikuatkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 25 tahun 1984.
“Penyusunan mushaf Alquran braille dimulai sejak tahun 1974, karena dibahas berbarengan dengan mushaf Alquran standar Indonesia di mana ada tiga mushaf Alquran standar Indonesia. Pertama mushaf Alquran standar Usmani, kedua Bahriyah, dan ketiga mushaf standar braille,” ujarnya.
Sidqi menuturkan, sejak 1984, mushaf Alquran braille ini dicetak, diedarkan, dan dibacakan oleh kalangan tunanetra, terutama di Indonesia. Pada tahun 2011, LPMQ menyusun buku pedoman membaca dan menulis Alquran braille. Lalu pada 2013, hasil penyempurnaan buku pedoman tersebut dicetak bersamaan dengan Alquran Braille yang telah disempurnakan lengkap dengan terjemahannya.