IDXChannel - Sejumlah pakar terkemuka bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah membunyikan alarm terhadap kecepatan serta besarnya kemajuan yang terjadi pada bidang ini, dan memperingatkan jika hal tersebut merupakan ancaman bagi umat manusia.
Dilansir dari euronews, salah satu di antaranya adalah Geoffrey Hinton, seorang ilmuwan komputer pemenang penghargaan sekaligus dikenal sebagai "godfather of AI", telah berhenti dari posisinya di Google bulan lalu guna menyampaikan rasa khawatirnya terhadap perkembangan alat AI yang tidak terkendali.
"Saya tiba-tiba mengubah pandangan saya tentang apakah benda-benda ini akan menjadi lebih cerdas daripada kita," ucap Hinton, 75 tahun, pada sebuah wawancara dengan MIT Technology Review pekan ini.
"Saya pikir mereka sudah sangat dekat dengan hal itu sekarang dan mereka akan jauh lebih cerdas daripada kita di masa depan... Bagaimana kita bisa bertahan dari itu?"
Namun, bukan hanya dia saja yang merasakan kekhawatiran ini. Pada Februari lalu, Sam Altman, CEO pengembang ChatGPT, OpenAI, bahkan menyebut dunia mungkin tidak "terlalu jauh dari perangkat AI yang berpotensi menakutkan" dan menganggap regulasi menjadi sangat penting, tetapi perlu membutuhkan waktu untuk memikirkannya.
Singkatnya, pada Maret lalu, sesaat setelah perusahaan start-up yang didukung Microsoft telah meluncurkan model AI terbarunya, GPT-4, terdapat lebih dari 1.000 peneliti serta ahli teknologi menandatangani sebuah surat yang mendesak agar pengembangan AI dihentikan sementara selama enam bulan, mengingat hal tersebut memberikan "risiko yang sangat besar bagi masyarakat dan umat manusia".
Untuk itu, melalui sumber yang sama, inilah beberapa kekhawatiran dari Hinton maupun Para ahli lainnya terkait hal tersebut.
• Kemampuan AI kemungkinan sudah lebih pintar dibanding kita
Kemampuan otak manusia dalam memecahkan persamaan, mengemudikan mobil, bahkan melacak serial Netflix merupakan hasil dari bakat alami mereka dalam mengatur dan menyimpan informasi, hingga mencari solusi untuk masalah-masalah pelik.
Hampir 86 miliar neuron yang berada di dalam tengkorak kita atau sekitar 100 triliun koneksi yang dibuat oleh neuron-neuron tersebut memungkinkan hal semacam itu terjadi.
Sebaliknya, teknologi yang mendasari ChatGPT memiliki antara 500 miliar dan satu triliun koneksi, tutur Hinton. Kendati hal tersebut nampaknya membuat kita tidak terlalu diuntungkan, Hinton juga melihat jika GPT-4, model AI terbaru dari OpenAI, telah mengetahui "ratusan kali lebih banyak" dibandingkan dengan manusia. Menurutnya, mungkin saja AI mempunyai "algoritma pembelajaran yang jauh lebih baik" dari kita, sehingga bisa lebih efisien dalam melakukan tugas-tugas kognitif.
Sejak lama, para peneliti sudah mengamati jika jaringan syaraf tiruan membutuhkan waktu yang lama untuk menyerap maupun mengaplikasikan pengetahuan baru dibanding manusia, dikarenakan membutuhkan pelatihan yang sangat banyak, baik dari segi energi hingga data.
Kini tidak lagi demikian, menurut Hinton, bahwa sistem GPT-4 mampu mempelajari berbagai hal baru dengan sangat cepat setelah dilatih dengan benar oleh para peneliti.
Hal tersebut tidak berbeda dengan seorang fisikawan profesional yang terlatih dan mampu memahami temuan-temuan eksperimental baru yang jauh lebih cepat daripada yang dilakukan oleh siswa sekolah menengah.
Hal itulah membuat Hinton menyimpulkan jika sistem AI telah mengakali kita: selain bisa mempelajari sesuatu dengan lebih cepat, teknologi ini juga bisa saling berbagi pengetahuan dengan cepat.
"Ini adalah bentuk kecerdasan yang sama sekali berbeda," ungkapnya melalui MIT Technology Review. "Bentuk kecerdasan yang baru dan lebih baik".
• Kemampuan AI dapat “mempercepat” dalam penyebaran informasi yang salah
Lantas, apa yang dilakukan oleh sistem AI lebih pintar dari manusia? Kemungkinan yang menakutkan yaitu oknum, kelompok, maupun negara yang berniat jahat justru akan mengkooptasi mereka dalam mencapai tujuan mereka.
Berdasarkan laporan terbaru dari NewsGuard, yang menilai tingkat kredibilitas situs web dan melacak misinformasi online, terdapat puluhan situs web berita palsu yang tersebar di berbagai bahasa, bahkan beberapa diantaranya menerbitkan ratusan artikel hasil buatan AI setiap harinya.
Terlebih lagi, Hinton sangat khawatir apabila perangkat AI nantinya akan dilatih untuk mempengaruhi pemilihan umum dan bahkan menimbulkan peperangan.
Contohnya, penyebaran misinformasi pemilu melalui chatbot AI mungkin menjadi versi masa depan dari misinformasi pemilu yang disebarkan melalui Facebook maupun platform media sosial lainnya. Atau, mungkin juga itu hanya permulaan.
"Jangan pernah berpikir bahwa Putin tidak akan membuat robot yang sangat cerdas dengan tujuan membunuh orang Ukraina," papar Hinton dari artikel tersebut. "Dia tidak akan ragu-ragu," tambahnya.
• Bisakah kecerdasan buatan (AI) membuat kita menjadi berlebihan?
Menurut perkiraan dari OpenAI, sebanyak 80 persen pekerja di Amerika Serikat berpotensi kehilangan pekerjaannya karena AI, sedangkan laporan dari Goldman Sachs juga memperkirakan jika teknologi tersebut dapat mengancam 300 juta pekerjaan penuh waktu di seluruh dunia.
Tidak hanya itu, Kelangsungan hidup umat manusia terancam ketika "hal-hal pintar dapat mengakali kita," terang Hinton.
"Ini mungkin akan membuat kita bertahan untuk sementara waktu agar pembangkit listrik tetap berjalan," cetus Hinton dalam konferensi EmTech Digital MIT Technology Review via video dari rumahnya pada Rabu lalu. "Tapi setelah itu, mungkin tidak".
"Mereka akan belajar dari kita, dengan membaca semua novel yang pernah ada dan semua yang pernah ditulis Machiavelli, bagaimana cara memanipulasi orang, bahkan jika mereka tidak dapat secara langsung menarik pengungkit, mereka pasti dapat membuat kita menarik pengungkit," jelasnya.
• Hingga saat ini, belum menemukan cara menghentikannya
"Saya berharap saya memiliki solusi sederhana yang bagus yang bisa saya dorong, tetapi saya tidak punya," pungkas Hinton. "Saya tidak yakin ada solusinya".
Kendati demikian, pemerintah terus memperhatikan perkembangan AI. Sehingga, Gedung Putih mengundang CEO Google, Microsoft, dan pembuat ChatGPT, OpenAI, guna menemui Wakil Presiden Kamala Harris pada Kamis lalu, untuk berdiskusi secara terbuka terkait cara memitigasi risiko jangka pendek dan jangka panjang dari teknologi tersebut.
Selain itu, anggota parlemen Eropa pun mempercepat negosiasi agar dapat meloloskan aturan AI yang baru, sementara regulator persaingan usaha Inggris berencana untuk memeriksa dampak AI terhadap konsumen, bisnis, dan ekonomi, serta perlukah kontrol baru pada teknologi seperti ChatGPT.
Namun, hingga kini belum jelas bagaimana cara menghentikan kekuatan seperti Rusia memanfaatkan teknologi AI untuk mendominasi negara tetangganya atau warganya sendiri.
Alhasil, Hinton menyarankan diadakannya perjanjian global semacam Konvensi Senjata Kimia tahun 1997 agar dijadikan sebagai langkah awal yang baik untuk membuat aturan internasional mengenai larangan penggunaan AI sebagai senjata.
Walau perlu diketahui juga kalau senjata kimia tersebut tidak menghentikan temuan para penyelidik terkait serangan Suriah yang menggunakan gas klorin dan agen saraf sarin terhadap warga sipil di tahun 2017 dan 2018 ketika terjadi perang saudara di negara tersebut.
(DKH)