Kunci dari peningkatan kelayakan memperoleh pinjaman ini adalah melalui eksekusi pemberdayaan sesuai kebutuhan pelaku usaha. “Jika sudah layak baru kemudian dikembangkan melalui layanan soft loan sampai ke komersial. Hal inilah yang perlu dikerjakan bersama dan menjadi cikal-bakal nasabah-nasabah yang nanti secara komersial bisa kita ikuti proses ‘naik kelasnya’,” ujar Sunarso.
Sunarso mengatakan baik pihaknya maupun pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk memberdayakan usaha ultra mikro ‘naik kelas’. Proses pemberdayaan itu harus terstruktur, terprogram, dan tidak secara alami karena harus diberikan stimulus melalui sistem yang kuat.
Oleh karena itu, setiap pemangku kepentingan harus bersama-sama membangun ekosistem usaha ultra mikro yang tangguh dengan jaringan yang kuat. Dengan ekosistem akan tercipta usaha-usaha yang saling terkait dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan digitalisasi usaha dari tingkat ultra mikro.
Dalam proses digitalisasi, contohnya, BRI sudah menghadirkan layanan menggunakan aplikasi yang disebut BRISPOT. Melalui pemanfaatan aplikasi itu, BRI mereduksi proses layanan kredit dari dua minggu menjadi hitungan jam saja.
Digitalisasi pun memaksimalkan kinerja Agen BRILink yang saat ini tercatat berjumlah 458 ribu sebagai bagian dari ekosistem layanan keuangan masyarakat di segmen Mikro dan Ultra Mikro. Nominal transaksi Agen BRILink telah tumbuh pesat dari Rp35 triliun pada 2015, menjadi Rp673 triliun pada 2019, dan tahun ini BRI menargetkan transaksi Agen BRILink tembus Rp. 1.000 triliun.