IDXChannel - Setidaknya 68% Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penerima penyertaan modal negara (PMN) terancam gulung tikar. Proyeksi ini dikonfirmasi langsung Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI.
Perkaranya adalah utang dan kerugian operasional hingga 2020. Data Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang BUMN penerima suntikan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam skema PMN di atas rata-rata 55%. Sementara, 40% BUMN penerima PMN juga mencatat kerugian berarti.
Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai utang dan kerugian menjadi faktor fundamental yang menyebabkan perusahaan pelat merah terancam bangkrut hingga pailit.
Menurutnya, perseroan negara yang kecanduan anggaran pemerintah akan mengalami tekanan tinggi, bila pemerintah membatasi atau memangkas alokasi APBN.
"Ada beberapa faktor krusial yang membuat BUMN itu memang pailit ya. Satu, APBN itu terbatas, artinya kemampuan negara untuk terus menyuntik atau PMN itu akan mengalami tekanan juga atau bisa dipangkas juga. Nah, bumn yang sudah terlanjur ketergantungan atau kecanduan terhadap PMN ini rentan ketika supply dari negara dananya (dibatasi)," ujar Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Jumat (17/12/2021).
Perkaranya, tak semua perseroan bisa mencari alternatif pendanaan baru. Bhima memandang, tata kelola perusahaan dan manajemen yang kurang profesional menjadi sebab utama ketidakpercayaan kreditur kepada perusahaan.
Kondisi tersebut diperparah oleh program restrukturisasi keuangan yang dinilai tidak dilakukan secara efektif, sehingga kinerja perusahaan yang kalah bersaing di pasaran.
"Tanpa adanya proteksi regulasi dan bantuan dana pemerintah, banyak BUMN yang memang tidak bisa bersaing karena produknya kalah bersaing dibandingkan dengan pemain swasta," ungkap dia.
Dia mencatat, banyak BUMN memiliki beban utang yang tinggi sehingga menggerus pendapatan perusahaan. Dan sekali terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah yang dalam, mampu membuat utang BUMN naik signifikan
Faktor-faktor inilah yang membuat BUMN tidak memiliki kemampuan membayar kewajiban jangka pendeknya. Kondisi ini dikhawatirkan Bhima karena perseroan yang mendapat PMN adalah mereka yang menguasai hajat hidup orang banyak.
"Itu yang menjadi problem. Ada yang di sektor migas, kelistrikan misalnya, jadi di sini letak dilemanya. Jadi saling menyandera antara pemerintah butuh BUMN untuk penugasan atau menyalurkan subsidi. Sementara BUMN butuh pemerintah untuk mendorong terus PMN dan menyelamatkan keuangan yang sedang kritis," tutur dia.
Model simbiosis tersebut, lanjut Bhima, merupakan simbiosis yang tidak sehat lantaran merugikan keuangan negara dalam jangka panjang.
Dari arsip pemberitaan MNC Portal Indonesia, utang keseluruhan BUMN mencapai Rp1.682 triliun hingga September 2020. Tren kenaikan utang perseroan terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun lalu, kenaikan signifikan terjadi karena BUMN kekurangan dana operasionalnya untuk menggenjot sejumlah program, salah satunya adalah anggaran BUMN Karya untuk pembangunan infrastruktur.
(IND)