sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Asosiasi Pengemudi Ojol Tolak Kebijakan Iuran Wajib 3 Persen Tapera

Economics editor Atikah Umiyani/MPI
29/05/2024 12:20 WIB
Kebijakan pemerintah yang berencana memotong gaji pegawai untuk iuran Tapera menuai kontra dari Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia.
Asosiasi Pengemudi Ojol Tolak Kebijakan Iuran Wajib 3 Persen Tapera. (Foto MNC Media)
Asosiasi Pengemudi Ojol Tolak Kebijakan Iuran Wajib 3 Persen Tapera. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Kebijakan pemerintah yang berencana memotong gaji pegawai untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai kontra dari Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia.

"Garda Indonesia menolak semua bentuk potongan wajib Tapera," jelas Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia Igun Wicaksono kepada MNC Portal Indonesia, Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Menurutnya, aturan ini memberatkan beban penghasilan pekerja Indonesia. Apalagi, pengemudi ojek online selama ini masih masuk ke dalam kategori pekerja informal yang juga dikenakan pajak oleh perusahaan aplikator.

"Pekerja formal dan nonformal sudah cukup dikenakan pajak atas penghasilannya, profesi pengemudi ojol yang statusnya masih ilegal juga dikenakan pajak oleh aplikatornya," tutur Igun.

Senada diungkapkan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari Fisip Universitas Diponegoro Satria Aji Imawan. Dia menilai, potongan gaji untuk iuran Tapera bisa memberatkan banyak pekerja.

Sebab, menurutnya, nominal Rp100 ribu hingga Rp200 ribu bernilai besar bagi sebagian besar orang.

"Artinya bukan berarti penghasilan berapa lalu di-press (tekan) sedemikian rupa untuk investasi perumahan, tapi kemudian hari per harinya penghidupannya bermasalah," jelas Satria, Selasa (28/5/2024) lalu.

Menurut Satria, kebutuhan hidup setiap orang bersifat relatif dan berbeda-beda. Dengan demikian, potongan tersebut tidak bisa dipukul rata.

"Tidak bisa dipukul rata 3 persen. Perlu dijelaskan logikanya bagaimana, penghasilan orang itu bervariatif, 3 persen bagi orang yang penghasilannya sekelas ibu kota ya tidak sama dengan yang di kabupaten. Tidak bisa sama, harus ada penyesuaian," katanya.

Mengingat rioritas hidup orang berbeda, lanjut Satria, membeli rumah bukanlah perkara mudah. Lagi pula, membeli properti bukan harga mati bagi sebagian orang.

“Artinya dia memang orang yang tidak hanya bisa beli rumah, tetapi juga bertanggung jawab dengan rumahnya. Di Britania Raya, dia bisa beli rumah tetapi tidak kesulitan untuk menghidupi dirinya (yang) kemudian jadi beban negara. Kebanyakan skema di luar negeri adalah rumah sewa, orang menyewa terus, bukan membeli,” tuturnya.

Selain itu, Satria juga menyoroti transparansi iuran Tapera. Dia pun menegaskan pemerintah, dalam hal ini BP Tapera, harus menjelaskan secara lebih transparan terkait kebijakan ini.

(YNA)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement