IDXChannel - Bank Indonesia (BI) perwakilan DIY urut berkomentar terkait dengan angka kemiskinan di wilayahnya. Di mana menjadi provinsi termiskin di wilayah Pulau Jawa.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Budiharto Setyawan mengatakan, pihaknya telah melakukan asesmen berkaitan dengan indikator kemiskinan ini. Ada beberapa fakta menarik dalam angka kemiskinan di DIY ini.
"Mayoritas masyarakat di DIY telah memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan," kata dia, Jumat (20/1/2023).
Hal ini ditunjukkan dengan indikator tingkat pengangguran di DIY berkisar 4,06% pada Agustus 2022. Angka ini tergolong sangat baik karena jauh berada di bawah rata-rata nasional 5,86%.
Bila dilihat dari struktur lapangan pekerjaan, mayoritas pekerjaan masyarakat DIY adalah UMKM dan didominasi oleh tenaga kerja sektor informal yang mencapai 53,38%. Walaupun mayoritas telah memiliki pekerjaan, namun secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi.
"Kemiskinan di DIY mencapai 11,49% menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia," tutur dia.
Menurut Budi, hal ini disebabkan oleh dua hal yakni pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya.
Pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi. Hal ini tercermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalui lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit.
"Secara rata-rata rasio kredit dibandingkan dengan simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir," kata dia.
LDR DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78%. Di mana angka tersebut masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90%. Kondisi demikian terus menjadi masalah secara statistik, karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan.
Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi.
"Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier," terangnya.
Mayoritas penduduk pendatang melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar utamanya untuk produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup seperti perawatan kecantikan dan kesehatan. Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi.
"Hal tersebut tercermin dari tingkat gini ratio DIY yang mencapai 0,459 (September 22) tertinggi se-Indonesia," tambahnya.
Berdasarkan rilis BPS pada 13 Januari 2023, secara tahunan September 2021 ke Sept 2022, persentase penduduk miskin DIY menurun dari 11,91% menjadi 11,49% penurunan secara tahunan terutama disebabkan penurunan persentase kemiskinan di perkotaan dari 11,20% menjadi 10,64%. Sementara di pedesaan meningkat dari 13,99% di september 2021 menjadi 14% di September 2022.
Meski demikian, jika dibandingkan dengan posisi Maret 2022, persentase penduduk miskin di DIY meningkat dari 11,34% menjadi 11,49%. Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan.
Di perkotaan naik dari 10,56% menjadi 10,64%. Di perdesaan meningkat dari 13,65% menjadi 14%. Peningkatan ini selaras dengan yang terjadi secara nasional.
Dalam pengukuran kemiskinan, BPS telah merilis beberapa indikator. Berdasarkan indikator tersebut, meskipun pertumbuhan ekonomi DIY tergolong sangat baik, namun indikator garis kemiskinan yang mencerminkan nilai Rupiah pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup selama sebulan mengalami penurunan baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Berdasarkan hasil asesmen tersebut, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DIY, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain berupaya terus menciptakan lapangan kerja baru.
BI sangat mendukung kesuksesan DIY dalam menjaga keberlangsungan proyek strategis nasional maupun proyek strategis daerah. Proyek strategis yang berlanjut sampai dengan 2025 perlu terus dikawal, agar dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar/lokal.
Di samping itu, pemerintah daerah harus mengawal optimalisasi penggunaan dana desa, agar memiliki multiplier yang besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana desa apabila dimanfaatkan secara swakelola dan padat karya, diharapkan mampu menggerakkan ekonomi desa.
"Harapannya dapat mempercepat proses penurunan kesenjangan antara desa dan kota," tambahnya.
Pihaknya sangat mengapresiasi upaya DIY dalam meningkatkan upah minimum provinsi (UMP) 2023, sehingga tidak lagi menjadi yang terendah di Indonesia. Kenaikan UMP ini penting terutama untuk mengurangi gap pendapatan penduduk DIY dengan penduduk pendatang, sehingga diharapkan dapat memperbaiki gini ratio.
Mereka juga meminta Pemda DIY untuk terus memberikan perhatian serius terhadap isu sosial yang berkembang di masyarakat. Pihaknya sangat mendukung upaya Pemda DIY maupun Pemerintah Kota dan Kabupaten yang menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama, dalam mengantisipasi potensi konflik antar kelompok.
"Kami turut mengapresiasi respons cepat dari Pemda dalam mengatasi isu sosial yang berkembang, sehingga tidak merusak citra positif DIY," ujarnya.
Menurutnya, dengan menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDRB) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, DIY telah memasuki masa pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Akumulasi PDRB DIY Triwulan I hingga Triwulan III-2022 atas dasar konstan telah berada pada level Rp83,58 triliun atau meningkat 4,68% dibandingkan akumulasi PDRB Triwulan I hingga Triwulan III-2021.
Level PDRB dimaksud bahkan telah melampaui akumulasi PDRB triwulan yang sama tahun 2019 sebesar Rp74,79 triliun. Apabila pencapaian tersebut digunakan sebagai ukuran keberhasilan, maka DIY menjadi salah satu provinsi yang mengalami pemulihan tercepat di Indonesia.
(YNA)