IDXChannel - Jumlah pekerjaan yang tersedia di Amerika Serikat (AS) dilaporkan menyusut selama tiga bulan berturut-turut. Data terbaru lapangan pekerjaan negeri Paman Sam pada Juli mencapai 8,82 juta pada Selasa (29/8/2023).
Dalam survei Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS), angka pekerjaan AS turun di bawah 9 juta untuk pertama kalinya sejak awal tahun 2021, menurut data terbaru yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja. Angka pekerjaan ini juga turun dari 9,165 juta pada Juni. (Lihat grafik di bawah ini.)
Selain itu, Biro Statistik Tenaga Kerja juga menemukan semakin sedikit pekerja yang berhenti dari pekerjaan mereka. Sektor bisnis juga mempekerjakan lebih sedikit pekerja, dan jumlah PHK meningkat seiring dengan kondisi pasar kerja di AS yang lebih tenang dan seimbang.
Kini, setidaknya terdapat 1,5 pekerjaan yang tersedia untuk setiap pengangguran. Sebelumnya, para ekonom memperkirakan data pekerjaan AS akan menjadi 9,465 juta pada Juli berdasarkan perkiraan konsensus Refinitiv.
Selain itu, pasar merespons positif dengan adanya data terbaru AS. Bursa Wall Street kompak menghijau pada sesi perdagangan kemarin. Nasdaq Composite naik 1,69 persen, sementara S&P 500 naik 1,45 persen. Diikuti Dow Jones naik 0,85 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di pasar Asia, sebagian besar bursa juga menghijau tersengat sentimen Wall Steet di mana kenaikan tertinggi dipimpin Nikkei 225 sebesar 0,94 persen. Adapun indeks Hang Seng naik 0,53 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,57 persen pada pukul 10.00 WIB.
Sementara di pasar uang, dolar AS berada di bawah tekanan jual dan indeks dolar AS bergerak di bawah 104 tepatnya di level 103,544 per pukul 10.11 WIB.
Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun turun lebih dari 1 persen hari ini di level 4,15 persen.
Lebih lanjut, data terbaru pekerjaan di AS ini menjadi sinyal baik bagi bank sentral The Federal Reserve, yang mengharapkan lebih banyak kelonggaran di pasar tenaga kerja dalam upayanya menurunkan inflasi.
Ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran pekerja dapat menyebabkan kenaikan upah dan, pada akhirnya, menambah tekanan pada inflasi.
Bank sentral telah mencoba untuk menjinakkan inflasi dengan menaikkan suku bunga dalam upaya untuk mengurangi permintaan.
Data terbaru ini menunjukkan bahwa kemungkinan The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga di pertemuan September mendatang semakin kuat.
Menurut CME Group FedWatch Tool, pasar saat ini memperkirakan 43 persen kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun.
Sebelumnya, berbicara di simposium tahunan di Bank Sentral Kansas City tersebut, ketua The Fed Jerome Powell mengisyaratkan tampak ‘selesai’ dengan suku bunga.
Meski masih menyiratkan nada hawkish, namun substansi perkataan Powell mengindikasikan bahwa tidak akan terjadi kenaikan suku bunga lagi saat para pembuat kebijakan bank sentral bertemu bulan depan.
Powell juga mengatakan bahwa bank sentral saat ini dalam posisi untuk mengambil tindakan dengan hati-hati. Ini semakin menunjukkan bahwa The Fed tidak terburu-buru dalam kebijakan suku bunga selanjutnya.
Salah satu alasan Powell menyatakan situasi tersebut adalah bahwa kenaikan suku bunga yang telah dilakukan selama belum berdampak signifikan pada perekonomian. Ini menambah kekhawatiran bahwa kebijakan suku bunga selama ini salah arah.
Untuk itu, pasar melihat sepertinya langkah The Fed selanjutnya adalah mungkin akan menurunkan suku bunga. Jika The Fed melakukan hal tersebut, suku bunga jangka panjang mungkin akan mulai turun.
Target suku bunga saat ini berada pada kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen, dan merupakan target tertinggi dalam dua dekade terakhir.
“Kami melihat kebijakan saat ini bersifat restriktif, memberikan tekanan pada aktivitas ekonomi, perekrutan tenaga kerja, dan inflasi,” kata Powell dikutip Wall Street Journal, Senin (28/8).
Powell mengisyaratkan pada Jumat bahwa syarat pemotongan suku bunga harus menempatkan inflasi lebih jelas terkendali. Bahkan dalam situasi terbaik sekalipun, hal itu mungkin tidak akan terjadi tahun ini, namun pada awal tahun 2024.
“Inilah tujuan yang ingin kami tuju di mana ada lowongan pekerjaan yang mengarah ke bawah, namun dengan cara yang tenang, dan terkendali,” kata Rachel Sederberg, ekonom senior di firma riset dan analisis pasar tenaga kerja Lightcast dikutip CNN Internasional, Rabu (30/8). (ADF)