Akibatnya, konsorsium harus mengeluarkan anggaran yang mahal untuk menggeser kawasan-kawasan tersebut.
Kemudian, financing cost. Perkara ini terjadi karena adanya keterlambatan pengerjaan proyek dan menyebabkan membengkaknya Interest During Construction (IDC) atau talangan bunga atas proyek yang dikerjakan.
"Sehingga pasti yang membengkak juga biaya head office operasi. Dengan mundurnya proyek ini, beban operasi meningkat dan ada biaya-biaya lain," ungkap dia.
Dari total anggaran EPC, pembebasan lahan, financing cost, biaya pre op dan lainnya ini kemudian menghasilkan kenaikan anggaran yang signifikan. Manajemen mengestimasi Capital Output Ratio mencapai 1,9 miliar dolar AS
"Artinya dari 1,9 miliar dolar AS tersebut, 75 persen akan dibiayai dari pinjaman CBD dan 25 persen dari equity. Porsi Indonesia 60 persen, China 45 persen. Jadi itu asumsinya sehingga dapat 4,1 triliun. Dari perhitungan ini, yang kami ajukan ke pemerintah untuk diusulkan dipenuhi melalui PMN," ungkapnya. (TIA)