Di hadapan Komisi VI DPR, Erick menegaskan, peran Kementerian BUMN perlu ditingkatkan dan menjadi bagian dari kepercayaan untuk mengelola perusahaan. Bahkan, regulasi juga meniscayakan peran legislatif yang diwakili Komisi VI dalam memperkuat pengawasannya terhadap perseroan negara.
"Inilah salah satu inisiasi atau legacy yang kita harapkan. Kenapa? Karena di situ jelas, apakah kita bicarakan yang namanya PMN, utang, kepemilikan itu memang tidak lain justru di Undang-Undang BUMN justru ini harus diperbaiki," katanya.
Erick memberi contoh, untuk menjalankan program restrukturisasi, pemegang saham memerlukan waktu hingga 9 bulan lamanya. Padahal, di lain sisi dinamika bisnis saat didasarkan pada kekuatan digital, menuntut perusahaan secepatnya melakukan penyesuaian bisnis.
Artinya, waktu 9 bulan cukup lama hanya dengan memfokuskan diri pada satu program saja. Sementara, dalam pasar terbuka, perusahaan swasta justru masih melakukan invasi bisnisnya.
"Contohnya saja, pertanyaan dari para anggota dewan, 'kok nutup saja, kok lama sekali?' Merestrukturisasi aja kita butuh waktu 9 bulan. Yang akhirnya di era sekarang digitalisasi seperti ini, yang dimana, dinamika berusaha itu terjadi percepatan yang luar biasa, ketika kemarin perusahaan untung, besok saja bisa rugi langsung, karena digitalisasi ini sangat membuka pasar secara terbuka," katanya.