IDXChannel - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut permintaan baterai lithium dunia akan terus meningkat tinggi seiring beralihnya penggunaaan kendaraan BBM ke listrik.
Diperkirakan permintaan baterai kendaraan listrik di Indonesia mencapai 59,1 gigawatt per hour (Gwh) sementara untuk permitaan global mencapai 5.300 Gwh di 2035.
“Pada 2035 nanti permintaan baterai lithium dunia menjadi 5.300 GWh lompatannya luar biasa, sebaliknya permintaan di dalam negeri sekitar 59,1 GWh,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Agus Tjahajana saat acara Investor Daily Summit 2022 di Jakarta Convention Center, Selasa (11/10/2022).
Agus membeberkan bahwa pertumbuhan permintaan baterai listrik domestik itu hanya sekitar 1,1 persen jika dibandingkan dengan potensi perdagangan baterai dunia hingga 2035 mendatang.
“Walaupun permintaan domestik masih terbatas, namun Indonesia bisa diperhitungkan dalam industri baterai dunia lewat kemitraan dengan pemain-pemain global untuk dapatkan pasar, teknologi serta pengalaman,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) memperkirakan permintaan mobil dan motor listrik masing-masing bakal tembus di angka 400.000 unit dan 1,2 juta unit atau tumbuh sampai 4 kali lipat pada 2025 mendatang. Sementara itu, IBC belakangan masih mencari investor prospektif untuk membangun industri pembentuk komponen sel baterai yang belum dapat diproduksi di dalam negeri seperti anoda, elektrolit, selubung dan separator.
SVP Corporate Strategy & Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC) Adhietya Saputra mengatakan, pasar baterai kendaraan listrik bakal tumbuh signifikan seiring dengan proyeksi peningkatan permintaan mobil dan motor listrik hingga 2025 mendatang. Berdasarkan proyeksi IBC, kebutuhan daya dari baterai listrik secara global mencapai 1.600 GWh sementara permintaan domestik diperkirakan sekitar 60 GWh pada 2030.
“Adapun, IBC turut menargetkan ekspor baterai listrik mencapai 200 GWh untuk memenuhi kebutuhan dunia yang diperkirakan total permintaannya mencapai 1.600 GWh pada 2030 mendatang,” kata Adhietya.
Hanya saja, Adhietya menuturkan, hampir 50 persen beban ongkos pengerjaan sel baterai belum dapat diproduksi di dalam negeri. Keadaan itu dikhawatirkan dapat menyebabkan target pemenuhan daya dari baterai listrik itu tidak dapat memenuhi permintaan kendaraan listrik ke depan.
Adhietya berharap produksi sejumlah komponen pembentuk sel baterai itu dapat ikut diproduksi di dalam negeri untuk mengurangi beban ongkos dan mengoptimalkan margin produksi.
Adapun, perusahaan patungan IBC bersama dengan PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd (CBL) dan LG Energy Solution (LGES) baru dapat mengerjakan hasil penambangan bijih nikel lewat teknologi HPAL dan RKEF. Setelah itu bijih nikel diolah menjadi kimia baterai dan katoda yang belakangan dibentuk ke dalam sel baterai.
“Untuk komponen anoda, elektrolit dan separator itu masih terbuka investor untuk bisa masuk dan memproduksi di dalam negeri ketika sel baterai beroperasi, katoda kita sudah buat sendiri komponen lain harapannya juga bisa disuplai di dalam negeri tidak mengandalkan impor,” tutupnya. (RRD)