Menurut dia, setelah melakukan pengecekan, FABA menjadi limbah karena berada di bawah ambang yang dipersyaratkan.
“Jadi saat itu hanya khusus untuk PLTU. Karena cost yang dikeluarkan PLTU itu menjadi apa? Kan dimasukkan ke tarif. Kalau masuk ke hitungan subsidi lalu masuk ke PDL yang kita bayar. Berapa jumlahnya enggak tahu saya, karena angka itu kan yang tahu PLN. Jadi artinya ini kerugiannya menjadi besar. Nah ini yang mengelola lebih sedikit, tapi sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan itu,” ujar Agus.
Sementara itu, menurutnya, dahulu FABA dilarang karena jumlahnya yang besar sehingga sulit dikendalikan. Oleh karena itu FABA masuk dalam kategori B3. (TYO)