IDXChannel - Bulan Ramadan dan lebaran identik dengan meroketnya konsumsi rumah tangga di Indonesia. Kebutuhan pokok layaknya sandang dan pangan cenderung meningkat.
Apalagi setelah tiga tahun pandemi melanda dan membatasi kegiatan hari raya, Ramadan dan Idul Fitri kali ini diproyeksikan akan lebih semarak dan meriah. Termasuk bagi para pengusaha ritel dan fast-moving consumer goods (FMCG), berkah Ramadan dan Hari Raya diharapkan mampu menopang pertumbuhan bisnis tahun ini.
Hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan keputusan mengenai kapan awal puasa 2023. Nantinya keputusan mengenai awal Ramadan ini melalui sidang isbat oleh Kementerian Agama RI.
Biasanya sidang isbat ini dilakukan menjelang hari-hari terakhir di bulan Sya'ban. Yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadan.
Namun demikian, jika mengacu pada kalender Islam Hijriah tahun 2023 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), maka awal Ramadan 2023 diperkirakan jatuh pada tanggal 22-23 Maret 2023.Sementara Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa (1 Ramadan 1444 H) jatuh pada Kamis (23/3). Sementara, Idulfitri 2023 (1 Syawal 1444 H) atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Jumat (21/4).
Menengok Daya Beli Konsumen RI
Pandemi Covid-19 telah memengaruhi isi dompet dan daya beli konsumen Indonesia, tak terkecuali saat menjelang Ramadan. Hal ini terlihat dari konsumsi rumah tangga yang anjlok di tahun 2020.
Namun, konsumsi mulai membaik dua tahun setelah pandemi berlalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh 4,93% pada 2022. Pertumbuhan itu lebih tinggi 2,91% poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 2,02%.
Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2022 masih lebih rendah dibandingkan sebelum pra Covid-19. Pada 2012-2019 rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia terpantau sebesar 5,13%.
Tahun 2022, konsumsi rumah tangga untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya tumbuh 4,28%. Sementara, pertumbuhan konsumsi untuk makanan dan minuman selain restoran sebesar 3,42%.
Adapun, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,61% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,31%. Sedangkan, kontribusi komponen pengeluaran itu terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 51,87% pada tahun lalu.
Namun, merujuk data terbaru Bank Indonesia (BI) Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Februari 2023 atau sebulan menjelang Ramadan justru menurun.
Indeks ini menandakan konsumen bersikap pesimis terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ke depan. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat belanja masyarakat jelang Ramadan dan Idul Fitri.
Menurut data BI, IKK Februari 2023 ada di angka 122,4 atau turun dibandingkan pada Januari yang tercatat 123,0.
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) masih naik tipis menjadi 112,4 pada Februari 2023 dari 112,1 pada bulan sebelumnya. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) ambruk dari 133,9 pada Januari 2023 menjadi 132,5 pada Februari.
Dalam sejarahnya, IKK sebulan menjelang Ramadan menunjukkan peningkatan. Jika dibandingkan pada 2021 dan 2022, IKK mengalami kenaikan, terutama di tahun lalu yang melonjak cukup tajam sebesar 128,9 di bulan Mei 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kenaikan IKK menjelang Ramadan ini terkait erat dengan optimisme kenaikan penjualan dan keuntungan bisnis di bulan ini.
Menurut survei The Trade Desk bekerja sama dengan YouGov yang dilakukan lebih dari 2.000 responden menemukan 88% masyarakat Indonesia berencana untuk berbelanja dalam mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadan.
Masyarakat diprediksi akan banyak membeli hampers, baju dan aksesoris, vitamin kebutuhan ibadah hingga belanja bahan makanan. Perempuan milenial diperkirakan akan berbelanja daring lebih banyak dibandingkan kalangan lainnya.
Survey The Trade Desk menunjukkan perempuan milenial diperkirakan akan lebih banyak berbelanja dibandingkan kelompok masyarakat lainnya selama Ramadan, dimana diperkirakan 49%-nya akan berbelanja produk kosmetik dan parfum, 59% kesehatan dan perawatan pribadi 52%, serta 61% pakaian dan aksesori.
Berdasarkan data, lebih dari setengah responden atau sebanyak 53% berencana untuk menggunakan THR-nya di bulan Ramadan dibanding untuk menabungnya.
Sementara menurut data agregat dari lima situs e-commerce di Indonesia, aktivitas belanja diperkirakan akan memuncak pada 7 hingga 10 hari sebelum Idul Fitri.
Kondisi Industri Ritel dan FMCG Jelang Ramadan
Industri FMCG diperkirakan kembali mengalami pertumbuhan pada bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri. Masa ini menjadi momentum penjualan bagi produsen dan peritel FMCG di negara-negara mayoritas muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Turki, Kerajaan Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Di Indonesia, perusahaan FMCG dikuasai oleh segelintir pemain baik global maupun lokal dengan market cap jumbo. Beberapa di antaranya PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan kapitalisasi pasar (market cap) mencapai Rp156,8 triliun. Ada juga PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan market cap Rp60,37 triliun.
Beberapa pemain FMCG terbesar yakni PT Wings Surya, PT. Frisian Flag Indonesia dan PT Santos Jaya Abadi (Kapal Api), tetapi belum mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Ada juga produsen susu Ultrajaya Milk Industry Tbk (ULTJ) dengan market cap Rp17,16 triliun. Serta PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang memiliki market cap Rp115,16 triliun. PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI) juga mencatatkan market cap jumbo sebesar Rp8,78 triliun.
Beberapa perusahaan FMCG global juga terlihat beroperasi di Indonesia seperti Procter & Gamble Co. (P&G), Nestle, hingga Mondelez dengan kapitalisasi pasar masing-masing USD 323,41 miliar, USD 310,7 miliar, dan USD 89,92 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Menurut riset NielsenIQ pada 2021, penjualan FMCG rata-rata melonjak hingga 30% di Indonesia, 15% di Malaysia, 20% di Turki, 11% di KSA dan 6% di UEA selama Ramadan dibandingkan dengan minggu-minggu penjualan normal.
Sementara, riset Kantar berjudul FMCG Outlook Indonesia 2023 menunjukkan meskipun terdapat tekanan inflasi, pasar FMCG Indonesia terus tumbuh pada 2022, dengan nilai pertumbuhan sebesar 9%, naik dari 5% di tahun sebelumnya.
Menurut riset Kantar, inflasi di seluruh kategori FMCG mencapai 7% sepanjang 2022 dan memengaruhi kepercayaan konsumen. Pembeli disebut mulai mengubah kebiasaan berbelanja mereka untuk membantu mengatur pengeluaran rumah tangga. Konsumen cenderung mengurangi barang-barang yang tidak penting dan dalam beberapa kasus beralih ke produk yang lebih murah.
Konsumen juga cenderung mengubah tempat mereka berbelanja dengan pertumbuhan belanja online meningkat, di mana tren ini mulai terlihat sejak era awal pandemi. Meskipun minimarket dan toko ritel sejenis telah berkembang di luar Jawa, namun perubahan terbesar terjadi pada perdagangan digital, yang terus berkembang di kota-kota sekunder dan daerah pedesaan.
Di samping itu, industri FMCG kategori makanan paling terpengaruh oleh kenaikan harga dan inflasi, namun masih menunjukkan kantong-kantong pertumbuhan.
Produk FMCG kategori home care naik sebesar 4% meskipun konsumen membeli lebih sedikit dan lebih jarang berbelanja. Adapun kategori personal care sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan preferensi individu. Sementara produk FMCG perlengkapan bayi tumbuh sebesar 5%.
Menurut Kementerian Perindustrian, industri makanan dan minuman (mamin) di triwulan III-2022 juga bertumbuh mencapai 3,57%, lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat 3,49%.
Namun, pertumbuhan FMCG pada tahun 2023 diperkirakan akan lebih melambat dari tahun lalu di seluruh kategori, termasuk makanan sebagai sektor utama.
“Karena kebiasaan berbelanja terus berubah dan konsumen dipaksa untuk lebih rasional dalam pengeluaran, para pelaku FMCG harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan penjualan” kata laporan Kantar, dikutip Februari (2/2).
Perlu strategi untuk memaksimalkan pemasaran online dan offline bagi para pelaku FMCG, di antaranya dengan mengoptimalkan titik harga dan terlibat dengan segmen pembeli yang berbeda.
“Inovasi akan menjadi pembeda utama dalam merekrut pembeli baru, dengan rasa, acara, ukuran kemasan, dan fungsionalitas baru. Ukuran kemasan yang lebih kecil dan kemanjuran produk akan menarik pembeli lebih efektif,” imbuh laporan tersebut.
Potret ini menunjukkan bahwa hari besar masih menjadi kontributor signifikan pendapatan sektor FMCG. Sama halnya seperti peringatan Hari Raya Imlek di China yang mendongkrak konsumsi lebih tajam di negeri Tirai Bambu, Indonesia juga mengharap berkah serupa.
Meskipun inflasi masih belum terkendali dan IKK masih menunjukkan pelemahan, konsumsi sektor FMCG diharapkan dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi RI. (ADF)