Lanjut Edi, pada 2018, pencampuran bioetanol telah diujicobakan dengan kandungan 2% (E2) di Jatim. Namun, hasil menunjukkan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit diatas harga BBM non-public service obligation (non-PSO).
"Dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, re-introduksi BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis," kata Edi.
Sementara itu, Pakar bioenergi ITB Profesor Tatang Hernas Soerawidjaja mengapresiasi langkah Presiden Jokowi dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.
"Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel," ujar Tatang.
Tatang menambahkan, hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar USD2,6 miliar dari substitusi impor diesel melalui program biodiesel kelapa sawit.
Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35,6 juta KL pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor BBM pada 2021.
"Penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol," ucap Tatang.