sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Nasib Utang Luar Negeri Kala Resesi Menghantui, Perlukah Khawatir?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
27/01/2023 07:30 WIB
Para ekonom dan pemimpin dunia mengkhawatirkan tentang risiko gagal bayar utang pemerintah negara ekonomi terkuat dunia, Amerika Serikat (AS).
Nasib Utang Luar Negeri Kala Resesi Menghantui, Perlukah Khawatir? (Foto: MNC Media)
Nasib Utang Luar Negeri Kala Resesi Menghantui, Perlukah Khawatir? (Foto: MNC Media)

Secara keseluruhan, BI mencatat penggunaan utang terbesar adalah di sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial mencapai 24,6%, jasa Pendidikan 16,6%, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 15,2%, kostruksi 14,2% dan jasa keuangan dan asuransi 11,6%.

Menurut jenis mata uang, posisi utang terbesar masih menggunakan kurs USD yang mencapai USD277,877 miliar.

Penggunaan IDR dalam utang juga menduduki posisi tertinggi mencapai USD58,6 miliar, Euro sebesar USD22,5 miliar dan yen Jepang USD19,3 miliar. Sementara pemberi utang terbesar adalah Singapura dengan total mencapai USD59,8 miliar, China USD20,9 miliar, Jepang USD23,4 miliar, Amerika Serikat sebesar USD33,4 miliar, Hongkong USD17,4 miliar.

Menariknya, utang RI dari Jepang mengalami penurunan signifikan dalan satu decade terakhir di mana posisi utang RI dengan negari Sakura masih mencapai USD43,7 miliar di tahun 2011.

Tantangan bagi RI

Pasar negara berkembang baru-baru ini menghadapi lingkungan yang sangat menantang yang ditandai dengan perlambatan pertumbuhan global, gangguan geopolitik, tekanan inflasi yang terus-menerus, dan kondisi likuiditas keuangan global yang semakin ketat.

Salah satu tantangan utang luar negeri adalah penguatan mata uang utama dunia, karena adanya penguatan dolar AS. Penguatan dolar AS sempat memukul sejumlah nilai mata uang di Asia, termasuk rupiah.

Hal ini didorong langkah bank sentral AS, The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya guna meredam inflasi yang memicu penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia. Sepanjang 2022, rupiah terdepresiasi sebesar 8,5% ke level 15.588 per dolar AS.

Kenaikan nilai tukar ini otomatis akan membuat utang luar negeri membengkak, karena sebagian besar utang didominasi oleh kurs USD.

Di samping itu, mengutip Investopedia, tingkat utang luar negeri yang berlebihan juga dapat menghambat kemampuan negara untuk berinvestasi di masa depan, baik melalui infrastruktur, pendidikan, atau perawatan kesehatan.

Hal ini karena pendapatan negara yang terbatas akan terus digunakan untuk membayar pinjaman dan berpotensi menggagalkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Untuk itu, Kementerian Keuangan selama ini gencar mendorong peningkatan komposisi utang berbentuk rupiah dari dalam negeri seiring berkurangnya porsi asing.

Salah satu yang dilakukan dengan penerbitan SBN ritel yang menyasar investor individu di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga mengelola maturitas atau jatuh tempo dari utang untuk meminimalisir risiko melalui liability management

Meski demikian, kondisi ekonomi makro yang masih belum menentu di tahun ini perlu terus diwaspadai. (ADF)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement