IDXChannel - Dalam pertemuan World Economic Forum (2023) pada 16-20 Januari lalu, para ekonom dan pemimpin dunia mengkhawatirkan tentang risiko gagal bayar utang pemerintah negara ekonomi terkuat dunia, Amerika Serikat (AS).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para politisi di AS berselisih tentang menaikkan batas utang negara.
Per Kamis, 19 Januari 2023 lalu, pinjaman pemerintah AS telah menyentuh ambang batas atau plafon yakni sebesar USD 31,4 triliun. Angka ini setara Rp 475.804 triliun.
Saat ini, kebuntuan melanda DPR AS. Presiden Amerika Serikat Joe Biden ingin plafon berutang dinaikkan, sementara harus ditentang parlemen yang dikuasai Partai Republik. Hal ini karena jika plafon utang dinaikkan bisa mengarah ke krisis fiskal selama beberapa bulan.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen juga menyampaikan jika Kementerian Keuangan AS mulai menggunakan langkah-langkah pengelolaan uang kas darurat demi menghindari negeri paman Sam gagal bayar hingga 5 Juni 2023 mendatang.
Dalam WEF 2023, CEO Goldman Sachs Group Inc, David Solomon menyatakan keprihatinan serius tentang kebuntuan politik atas plafon utang AS dapat menyebabkan krisis fiskal ini.
"Ini adalah sesuatu yang harus kita tanggapi dengan sangat serius, karena konsekuensi kesalahan akan nyata. Saya khawatir dan saya akan mengambil kesempatan apa pun yang saya bisa, dan kami sebagai perusahaan, untuk terlibat dengan orang-orang di Washington untuk mencoba memastikan mereka mengerti," kata Solomon kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
Jika saat ini AS mulai khawatir dengan plafon utang pemerintah, lalu bagaimana di Indonesia?
Faktor Pengerek Utang Luar Negeri
Utang luar negeri terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir, memiliki efek samping yang tidak diinginkan di beberapa negara peminjam.
Ini termasuk pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah, serta krisis utang yang melumpuhkan perekonomian, hingga menyebabkan gejolak pasar keuangan.
Saat ini, AS menjadi negara dengan utang luar negeri terbesar disusul oleh Inggris, Prancis, Jerman, hingga Belanda. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menurut IMF, setidaknya terdapat tiga pendorong utama fluktuasi yang signifikan terhadap utang swasta dan publik di seluruh dunia.
Pertama, fluktuasi besar dalam pertumbuhan ekonomi. Resesi ekonomi pada awal pandemi berkontribusi pada penurunan tajam PDB. Kondisi ini tercermin dalam peningkatan tajam rasio utang terhadap PDB pada 2020.
Pemulihan yang kuat dalam PDB membantu penurunan rasio utang tahun 2021. Namun, 2022 menjadi tahun penuh tantangan di mana banyak pertumbuhan ekonomi di berbagai negara melambat
Kedua, inflasi tinggi dan lebih fluktuatif. Demikian pula, tingkat inflasi turun secara signifikan di tahun pertama pandemi. Tren ini berbalik pada 2022 karena banyak harga-harga naik tajam di banyak negara.
Sepanjang 2022, aktivitas ekonomi dan inflasi bergerak bersamaan. Faktor-faktor ini menyebabkan perubahan besar dalam PDB nominal yang berkontribusi pada perubahan rasio utang.
Ketiga, efek guncangan ekonomi pada anggaran pemerintah, perusahaan, dan rumah tangga. Kondisi ekonomi yang fluktuatif juga berdampak cukup besar terhadap dinamika utang melalui anggaran.
Utang dan defisit meningkat secara signifikan pada tahun 2020 karena resesi ekonomi dan besarnya bantuan ekonomi yang harus diberikan kepada individu dan bisnis.
Menurut Database Utang Global IMF, keseluruhan pinjaman luar negeri melonjak sebesar 28 poin persentase menjadi 256% dari PDB pada 2020.