IDXChannel - Pemerintah melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang baru, langkah ini sebagai upaya mengurangi emisi karbon dan transisi energi.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk Garibaldi Thohir atau Boy Thohir mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak kepada permintaan batu bara dalam negeri. Menurut dia, Indonesia tetap harus berkaca kepada penggunaan energi di negara maju.
"Kadang kan kita harus benchmark dengan negara-negara yang lebih maju, misalnya Jepang, sampai hari ini Jepang energy mix-nya masih komplit lho, jadi masih ada batu bara, ada nuklir, ada solar, segala macem gitu," Kata Boy di Jakarta, Jumat (7/10/2022).
Boy membeberkan, kondisi krisis energi saat ini membuat banyak negara maju berbondong-bondong untuk menghidupkan kembali PLTU, bahkan PLTN. Terutama di kawasan Eropa karena kurangnya pasokan gas dari Rusia.
"Jadi menurut hemat saya pasti pemerintah Indonesia, dalam hal ini PLN akan melihat energy mix yang terbaik untuk Indonesia bagaimana," bebernya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat serius untuk mewujudkan pemakaian energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (EBT). Salah satu buktinya, baru saja dia mengeluarkan Perpres yang melarang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.
Larangan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, yang berlaku mulai 13 September 2022.
"Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini," demikian bunyi Pasal 3 (4a) Perpres Nomor 112 tahun 2022.
Selain itu, larangan itu juga tidak berlaku bagi PLTU yang memenuhi syarat.
Pertama, terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, PLTU yang berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan (EBT).
Ketiga, PLTU yang beroperasi paling lama sampai dengan 2050. Perpres ini diterbitkan guna meningkatkan investasi dan mempercepat pencapaian target bauran EBT dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional serta penurunan emisi gas rumah kaca.
Sebagai gantinya, pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. "Perlu pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan," bunyi Perpres itu. (RRD)