IDXChannel - Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi terus menjadi sorotan masyarakat, yang sebelumnya telah cukup tertekan oleh kenaikan harga BBM non subsidi jenis Pertamax. Karenanya, sejumlah pihak telah menyatakan protesnya, yang menilai bahwa langkah menaikkan harga BBM bersubsidi tidak tepat dilakukan, terlebih berbarengan dengan momen Lebaran, di mana tingkat konsumsi masyarakat cenderung meningkat.
Namun demikian, opsi menaikkan harga BBM sepertinya sudah menjadi satu-satunya opsi yang dilirik oleh pemerintah. Dengan dalih bahwa kenaikan harga minyak dunia yang mencapai di atas 100 dolar AS per barrel membuat pemerintah tak memiliki pilihan selain menaikkan harga BBM. Bila kenaikan tidak dilakukan, maka beban subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah bakal membengkak, sehingga berpotensi membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jebol.
"Sebenarnya ada banyak opsi yang bisa diambil pemerintah, tanpa harus menaikkan harga BBM. Pun, kalau pun harus naik, yang kita harapkan (kenaikan) itu maksimal hanya bisa sebesar Rp1.000 per liter, yang kemudian dilakukan secara reguler. Bertahap. Jadi jangan dengan menaikkannya sekaligus hingga, misalnya, sampai Rp3.500 per liter," ujar Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, kepada IDXChannel, Sabtu (23/4/2022).
Tipisnya batas toleransi kenaikan yang maksimal hanya Rp1.000 per liter tersebut, menurut Fahmy, karena pada dasarnya masyarakat tidak akan siap menerima kenaikan harga BBM setelah harga sejumlah kebutuhan pokok telah lebih dulu naik. Misalnya saja harga minyak goreng, daging, dan beberapa bahan pokok lain yang harganya merangkak naik akibat momen Lebaran. "Ya karena memang tidak bisa (dinaikkan). Kan sebelumnya harga BBM non subsidi juga sudah (naik). Maka harusnya reguler, maksimal Rp1.000 per liter. Jangan seketika langsung Rp3.500 per liter gitu," tutur Fahmy.
Pun, terkait dalih kenaikan harga BBM akibat menyesuaikan kenaikan harga minyak dunia, menurut Fahmy bisa dibantah dengan fakta bahwa kenaikan harga dunia tersebut juga secara simultan menguntungkan pemerintah. Keuntungan tersebut datang dari meningkatnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima pemerintah dari komoditas Minyak dan Gas (Migas).