"Sejak 2017, ekonomi china tumbuh sebesar 40 persen, tetapi pada periode tersebut impor China dari Eropa menurun sebesar 30 persen. Saya pikir inilah yang seharusnya menjadi topik pembicaraan utama," kata Eskelund.
Eskelund tidak ingin menuduh China memberikan subsidi besar-besaran agar industrinya bisa mengekspor produk dengan harga murah. Dia lebih mengkhawatirkan tekanan deflasi yang membebani konsumsi domestik di negara adidaya tersebut.
"Inti dari masalah yang kita lihat sekarang adalah deflasi. Saya memahami bahwa pemerintah China tidak begitu menyukai istilah overcapacity. Jadi mari kita bicarakan deflasi yang merupakan tantangan yang sulit," katanya.
Upaya pemerintah China untuk mengerek konsumsi domestik sejauh ini belum membuahkan hasil. Tanpa gelontoran stimulus yang masif, China diprediksi sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi lima persen tahun ini. (Wahyu Dwi Anggoro)