Dalam RAPBN 2026, belanja negara direncanakan mencapai Rp3.787 triliun, sementara penerimaan negara ditetapkan sebesar Rp3.148 triliun.
Rully menilai selisih kebutuhan pembiayaan tersebut berpeluang ditutup melalui instrumen utang, termasuk SBN. Menurutnya, mekanisme pembiayaan melalui pasar obligasi harus diantisipasi dengan cermat oleh pemerintah.
"Kenaikan suplai obligasi di pasar berpotensi menekan harga SBN yang telah mengalami penguatan sepanjang 2025," kata dia.
Data perdagangan menunjukkan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun saat ini konsisten bergerak di bawah level 6,5 persen. Namun, dengan potensi tambahan pasokan SBN, pergerakan harga ke depan bisa menghadapi tekanan.
Selain itu, kata Rully, investor juga akan memperhatikan dinamika nilai tukar rupiah yang diasumsikan Rp16.500 per USD dalam RAPBN 2026. Padahal, rupiah saat ini tercatat lebih kuat di kisaran Rp16.100–Rp16.200 per USD.
"Menurut hemat kami, asumsi ini cukup konservatif mengingat kondisi saat ini, di mana imbal hasil SBN 10 tahun terus menurun dan secara konsisten berada di bawah 6,5 persen sepanjang Agustus," ujar Rully.
(Dhera Arizona)