IDXChannel - Rencana pembangunan transmisi bawah laut sepanjang 4.200 kilometer (km) yang membentang dari Darwin, Australia – Singapura melalui Laut Timor dan perairan Indonesia dinilai spektakuler. Transmisi melalui kabel bawah laut (submarine) itu menjadi rencana kabel bawah laut terpanjang di di dunia.
Proyek transmisi bawah laut yang akan mengirimkan energi surya sekitar 3 gigawatt (GW) ini akan dibangun oleh Australia-Asia PowerLink (AAPowerLink). Perusahaan asal Australia, Sun Cable, akan membangun jaringan kabel bawah laut senilai USD2,58 miliar atau Rp35,6 triliun.
Lantas, proyek yang diklaim spektakuler akan mudah terealisasi?
Pakar ketenagalistrikan sekaligus anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mencatat, sampai saat ini, transmisi bawah laut High Voltage Direct Current (HVDC) terpanjang di dunia adalah North Sea Link yang menghubungkan Inggris – Norwegia melalui perairan North Sea sepanjang 720 km dengan tegangan 515 kilovolt (kV) dan mengalirkan listrik berkapasitas 1,4 GW.
Lalu, bagaimana dengan rencana spektakuler transmisi submarine sepanjang 4.200 km yang akan membentang dari Darwin – Singapura? Bagaimana dengan biaya investasinya? Bagaimana dengan persiapan kabel sepanjang 4.200 km tanpa ada sambungan, tentu harus ada persiapan dari sisi manufaktur.
Kemudian proses penggelaran kabel secara langsung di bawah laut, pengangkutan kabel sepanjang 4.200 km dari pabrikan menuju ke bawah laut, potensi sabotase, kehilangan daya (losses), potensi terkena jangkar kapal, dan potensi-potensi gangguan lainnya.
Herman menyebut, berdasarkan kajian 'Estimasi Biaya Listrik PLTS Sumba dengan Transmisi HVDC 3 GW Sumba – Paiton', jalur HVDC dari Sumba, NTT ke Paiton, Jawa Timur untuk kapasitas listrik dari energi surya sebesar 3 GW dengan jarak kabel bawah laut sekitar 760 km membutuhkan biaya total 42,15 miliar dolar AS atau sekitar Rp611 triliun.
Proyeksi nilai investasi Rp611 triliun itu terdiri atas kabel HVDC, converter, PLTS (solar PV), konstruksi sipil, sewa lahan untuk modul surya, bunga bank selama konstruksi, battery storage, dan komponen lainnya.
Herman yang juga menjabat sebagai Direktur Transmisi & Distribusi PT PLN (Persero) periode 2003 – 2008 ini menjelaskan bahwa proyek transmisi bawah laut yang membentang dari Australia ke Singapura untuk mengirimkan listrik dari tenaga surya dipastikan menelan investasi yang tidak kecil.
"Dulu pada 2008, Malaysia memiliki cadangan sumber listrik dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air) di Serawak hingga 20 gigawatt (GW), sedangkan beban puncak di Serawak saat itu hanya 2 GW, masih ada potensi 18 GW yang dapat disalurkan ke Semenanjung. Kemudian rencananya listrik itu akan dikirim melalui kabel bawah laut sepanjang 800 km," ujar Herman dari keterangan yang diterima MNC Portal Indonesia, Jumat, (15/10/2021).
Saat itu, kata dia, dirinya menyampaikan bahwa karakteristik kabel bawah laut jika mengalami kerusakan, maka akan rusak total. Kemudian bila terkena jangkar, akan terjadi losses daya.
"Tidak hanya kerugian kabel, tetapi penyediaan listrik skala besar jika mengandalkan kabel bawah laut sangat tidak aman,” katanya.
Malaysia, tuturnya, pun menunda keputusan untuk tidak mengirim listrik dari Sarawak ke Semenanjung melalui kabel HVDC. Menurutnya, kabel bawah laut bisa saja dibangun, tetapi hanya sebagai daya cadangan, bukan sebagai suplai utama.
“Kenapa harus dari Australia? Bukan dari China yang jaraknya lebih dekat dan bisa melalui darat serta memiliki Gurun Taklamakan? Selain itu, potensi losses sangat besar, ada risiko kabel terkena jangkar atau ada sabotase sehingga sangat berisiko," tuturnya.
Tantangan lainnya, konstruksi kabel dari pabrik langsung ke kapal digelar di kapal. “Itu tidak boleh ada sambungan kabel sepanjang 4.200 km. Bagaimana kira-kira cari solusi agar tidak ada sambungan di dalam air. Apakah pasokan itu akan aman, itu rawan terkena jangkar, sabotase oleh pihak yang ingin mengganggu,” kata dia.
Berdasarkan hasil kajiannya, tarif listrik dari energi surya yang dikirimkan melalui kabel submarine dari Australia – Singapura bisa di atas 25 sen per kWh. Perinciannya adalah untuk kabel bawah laut sepanjang 4.200 km, biaya tambahan 14 sen per kWh. Harga listrik dari solar PV sekitar 4 sen – 8 sen per kWh atau bergantung bunga bank.
Kemudian biaya battery storage dan biaya lainnya. Jadi, tarif listrik tenaga surya yang dikirim dari Australia ke Singapura bisa mencapai 28 sen per kWh (Rp4.060 per kWh). Padahal, tarif dasar listrik di Indonesia di kisaran Rp1.400 per kWh.
Herman menambahkan, konstruksi kabel yang panjang harus digelar langsung di dalam laut, kemudian dibuat lubang di bawah laut agar kabel terlindungi serta untuk keamanan agar tidak bergeser akibat arus laut atau pergeseran lempeng bawah laut. Hal ini tentu akan kian menambah biaya investasi.
(IND)