Selain itu, awal tahun ini juga masyarakat semakin kesulitan karena naiknya harga kebutuhan pokok. Padahal, kenaikan upah di Jabodetabek sangat kecil nilainya. Hanya DKI Jakarta yang kenaikan UMP-nya cukup besar yakni Rp 225.667 dan menuai protes oleh kalangan pengusaha. Bahkan Kabupaten Bogor dan Bekasi tidak mengalami kenaikan UMK sama sekali.
"Apabila tarif KRL dinaikkan maka hal tersebut jelas akan memberatkan para pekerja di kawasan Jabodetabek yang menggunakan KRL sebagai transportasi utamanya. Dimana pada 22 hari kerja dalam sebulan setidaknya para pekerja yang pulang pergi menggunakan KRL harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 88.000 untuk tarif dasar KRL saja," ujarnya.
Dia menambahkan, justru mencatat bahwa Kemenhub menggelontorkan Rp 3,2 triliun lebih untuk mensubsidi pengguna kereta api pada tahun 2022.
Belum lagi PMN juga telah diberikan pada PT. KAI sebesar Rp 6,9 triliun pada akhir 2021. Jadi seharusnya, PT Kereta Commuter Indonesia sebagai salah satu anak perusahaan di lingkungan PT KAI (Persero) yang mengelola KA Commuter Jabodetabek dan sekitarnya turut mendapatkan manfaat dari besarnya dana yang diberikan oleh Pemerintah kepada PT. KAI.
"Dengan berbagai fakta diatas FPKS dengan tegas menolak rencana kenaikan tarif dasar KRL dari Rp 3.000,- menjadi Rp 5.000,- karena sangat memberatkan masyarakat," pungkas Suryadi.