Penurunan kinerja Sritex terjadi pada 2021 di mana pendapatan usaha perseroan anjlok 32 persen dari Rp17,8 triliun pada 2020 menjadi Rp12,1 triliun. Pemburukan kinerja mencapai puncaknya pada 2023 di mana pendapatan Sritex tinggal Rp5 triliun atau kurang dari 30 persen dari pendapatan tertinggi pada 2020 sebesar Rp17,8 triliun.
Sementara, utangnya melonjak tajam di mana liabilitasnya mencapai Rp23,3 triliun pada 2021 dari sebelumnya Rp16,4 triliun. Sritex semakin kesulitan menahan laju utang untuk membiayai modal kerja hingga per 30 Juni 2024 dengan posisi utang berbunga perseroan menembus Rp14,5 triliun. Sementara posisi ekuitasnya minus Rp16 triliun.
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam mengungkapkan, kinerja Sritex tertekan sejak pandemi Covid-19. Menurut Welly, perusahaan yang selama ini mengandalkan ekspor tertekan penurunan permintaan tekstil secara global akibat kondisi geopolitik dan inflasi.
"Masyarakat global lebih mengutamakan kepentingan pangan dan energi (daripada tekstil)," kata Welly, beberapa waktu lalu.
Sementara dari dalam negeri, Sritex kesulitan beradaptasi karena pasar sesak dengan produk impor dari China. Welly mengatakan, banyak impor pakaian ilegal di Indonesia yang menyebabkan kondisi oversupply sehingga produsen tekstil lokal tak bisa bersaing karena kalah harga.
Situasi ini menggencet Sritex yang mencoba bangkit dari keterpurukan. Ditambah lagi, beban utang yang semakin besar membuat arus kas Sritex berdarah-darah (bleeding). Kini, mitra bisnis Sritex mulai menggugat perseroan.