IDXChannel – Sejumlah saham utama (big cap) menjadi pemberat (laggard) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merosot lebih dari 1 persen selama lanjutan sesi I, Kamis (2/4/2024).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 10.42 WIB, IHSG melemah 1,22 persen ke level 7.146, usai menguat dua hari sebelumnya.
Sebanyak 359 saham memerah dan hanya 168 saham yang menghijau. Sisanya, sebanyak 216 saham tak bergerak.
Seiring dengan itu, harga empat saham bank raksasa kompak menukik—tak pelak lagi menjadi beban untuk indeks saham acuan tersebut.
Saham bank BUMN PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) turun tajam 7,61 persen ke Rp6.375 per saham. Nilai transaksi tercatat mencapai Rp 1 triliun dan volume perdagangan 186 juta saham.
Dengan ini, saham BMRI turun dua hari beruntun dan dalam sepekan sudah terkoreksi 9,93 persen.
Investor tampaknya merespons laporan kinerja keuangan BMRI selama kuartal I-2024.
Laba bersih BMRI naik tipis 1,13 persen secara tahunan (YoY) menjadi Rp12,70 triliun sepanjang kuartal I-2024. Pendapatan bunga bersih BMRI tumbuh 5,11 persen YoY menjadi Rp24,18 triliun.
Saham bank pelat merah lainnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) tak luput dari tekanan jual. Saham BBNI amblas 4,95 persen secara harian.
Sebelumnya, BNI melaporkan telah mencetak laba bersih pada kuartal I-2024 sebesar Rp5,3 triliun.
Angka tersebut tumbuh 2% dari laba tahun sebelumnya sebesar Rp5,2%.
Berdasarkan laporan keuangan di keterbukaan informasi BEI, Senin (29/4/2024), net interest income (NII) BNI tercatat turun menjadi Rp9,4 triliun atau 9,8% secara yoy, terutama akibat membengkaknya beban bunga sebesar 47,5% yoy menjadi Rp6,4 triliun.
Saham bank BUMN ketiga, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) ikut melorot, yakni sebesar 3,64 persen ke Rp4.760 per saham.
Asing rajin keluar dari saham bank pelat merah ini.
Dalam sepekan, asing sudah melakukan jual bersih (net sell) Rp4,40 triliun di pasar reguler atas saham BBRI. Dalam sebulan, net sell asing mencapai Rp8,36 triliun.
Sebelumnya, BRI mencetak laba bersih secara konsolidasian sebesar Rp15,98 triliun pada kuartal I-2024.
Angka tersebut tumbuh 2,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp15,56 triliun.
Mengutip laporan keuangan perseroan, Kamis (25/4/2024), pertumbuhan laba tersebut tetap ditopang oleh pendapatan bunga bersih. BRI mencatat pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM) yang naik 9,6% yoy menjadi Rp35,95 triliun dari tahun sebelumnya Rp32,78 triliun.
Meski demikian, rasio NIM yang dicatatkan bank berkode saham BBRI ini turun tipis 8 basis poin (bps) dari 6,67% pada kuartal I 2023 menjadi 6,59% pada kuartal I 2024.
Peningkatan laba terdorong oleh raupan pendapatan berbasis komisi atau fee based income sebesar Rp5,43 triliun pada kuartal I 2024, naik 7,1% yoy.
Salah satu hal yang menjadi penghambat pertumbuhan laba BRI di periode ini adalah pencadangan yang mengalami kenaikan. BRI mencatat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebesar Rp12 triliun atau naik 69,25% yoy.
Tidak hanya itu, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga terdepresiasi 0,77 persen.
Diwartakan sebelumnya, BBCA mencetak laba bersih Rp12,9 triliun atau naik 11,7% secara tahunan (yoy) di kuartal I 2024. Pertumbuhan ini ditopang ekspansi pembiayaan yang disalurkan, perbaikan kualitas pinjaman secara konsisten, serta peningkatan volume transaksi dan pendanaan.
Big Cap Lain Ikut Tertekan
Selain keempat nama di muka, saham big cap lainnya terkena aksi jual investor.
Saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) melorot 2,27 persen, raksasa mi instan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) melemah 1,15 persen, peritel PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) turun 1,02 persen, dan emiten batu bara PT Bayan Resources Tbk (BYAN) terkoreksi 0,79 persen.
Kabar Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), yang mempertahankan tingkat suku bunga pada Rabu membuat situasi pasar saham dalam negeri turut goyah.
The Fed mengindikasikan bahwa mereka masih akan membuka peluang untuk mengurangi suku bunga. Namun, seperti dikutip Reuters, Kamis (2/5), The Fed memberikan peringatan atas pembacaan inflasi yang mengecewakan belakangan ini yang dapat membuat pemangkasan suku bunga tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Ketua Fed Jerome Powell menyatakan, setelah kenaikan harga yang lebih cepat dari yang diharapkan selama 3 bulan pertama di 2024, "akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang sebelumnya diharapkan" bagi pembuat pihaknya untuk merasa nyaman bahwa inflasi AS akan kembali menurun menuju target 2%.
Pernyataan Powell pada Rabu "secara mencolok kurang hawkish dari yang sebelumnya banyak ditakuti," kata analis Evercore ISI, dilansir dari Reuters.
"Pesan dasarnya adalah bahwa pemotongan [suku bunga] telah tertunda, bukan terhenti."
Penurunan IHSG di awal Mei ini mengindikasikan kinerja musiman yang secara historis buruk di bulan ini mungkin akan berlanjut.
Ini seperti adagium ‘Sell in May and Go Away,’ yang kerap menjadi penanda kinerja bulanan yang negatif di bursa AS alias Wall Street.
Apabila menilik sejarah, IHSG cenderung memerah selama Mei dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Sejak 2018, IHSG turun 5 kali selama Mei, alias hanya menghijau sekali pada 2020. (ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.