"Jumlah itu belum termasuk penghasilan dari perdagangan karbon, karena ITF Sunter merupakan proyek pembangunan berkelanjutan sehingga dapat menerima insentif carbon credit karena telah mengurangi gas rumah kaca. Berbeda dengan pengolahan sampah dengan metode Refuse Derived Fuel yang dikenakan pajak karbon," ujarnya.
Menurut Ali, alasan Pj Gubernur Heru Budi mengatakan biaya investasi pembangunan ITF Sunter dan biaya pengolahan sampah atau tipping fee terlalu besar tidak berdasar. Ia menilai dari sisi keuangan, ITF Sunter justru sangat menguntungkan daripada terus mengeluarkan dana Rp3,4 triliun setiap tahun namun masalah sampah di Jakarta tidak terselesaikan dengan baik.
Kapasitas pengolahan sampah ITF Sunter disebut Ali sebesar 2.200 ton per hari atau 28,21 persen dari total kapasitas sampah Jakarta sebesar 7.800 ton per hari. Pengolahan sampah di ITF Sunter secara otomatis mengurangi sampah yang harus dibuang ke Bantargebang, Kota Bekasi.
Artinya, dengan produksi ITF Sunter, Pemprov Jakarta bisa menghemat pengeluaran sebesar 28,21 persen atau sebesar Rp959 miliar per tahun, dari total pengeluaran rutin sebesar Rp3,4 triliun per tahun.
Penghematan sebesar Rp959 miliar per tahun itu bisa menjadi modal bagi Pemprov Jakarta untuk mengeluarkan biaya pengolahan sampah atau tipping fee ke ITF Sunter sebesar Rp585.000 per ton atau sekitar Rp425 miliar per tahun. Sehingga total penghematan dari beroperasinya ITF Sunter berkurang, dari Rp959 miliar menjadi Rp534 miliar per tahun.
"Secara operasional, ITF Sunter akan menerima penghasilan dari tipping fee sebesar Rp425 miliar per tahun dan dari hasil penjualan listrik ke PLN. Penerimaan ini dengan asumsi kapasitas pengolahan sampah di ITF Sunter sebesar 2.200 ton per hari dan kapasitas produksi listriknya 35 MW per jam," ujarnya.
(Febrina Ratna)