Harga ED dan DEG yang diproduksi perusahaan Indonesia itu Rp 3,6 juta per 225 kg, sedangkan yang di produksi India hanya Rp 1,68 juta per 225 liter. Bedanya jauh. Jangan-jangan karena ada bahan lebih murah, perusahaan ingin ada efisiensi biaya, maka dibuat tambahan ED dan DEG," ungkapnya.
Irma juga menyoroti penggunaan bahan kimia yang sudah terjadi saat disebut BPOM sudah dilakukan pengendalian market. Namun ia mempertanyakan mengapa masih ada yang kecolongan.
"Perusahaan farmasi yang nakal ini jangan hanya sekedar dicabut izin, tapi dilaporkan ke Polisi dan masuk tindakan kriminal. Tata kelola bahan baku obat yang ada di Indonesia harus diperbaiki, komitmen harus diperbaiki, kita harus buat panja," tegasnya.
Ia melihat sejak awal statement Menteri Kesehatan, ED dan DEG ini penyebabnya. Padahal BPOM bilang belum ada bukti yang sahih dan akurat.
"Ini membuat kegaduhan di publik. Yang satu ngomong A, yang satu ngomong B. Kalau namanya obat tidak bisa diduga-duga. Nyawa orang itu tidak bisa diduga-duga. Apa yang terjadi dalam tata kelola perlindungan kesehatan masyarakat kita oleh Kementerian Kesehatan. Kalau tidak selesai di Panja bisa dibuat Pansus," tutur Irma Suryani.