Sedangkan, wakaf mengajarkan untuk melepaskan kepemilikan aset. Merasa diri cukup dengan beberapa aset yang dimiliki, kemudian mewakafkan aset-aset produktif lainnya. Melepaskan kepemilikan berarti meluruhkan ego dalam diri. Ini jelas tidak mudah. Itulah mengapa Al-Qur’an menyebut wakaf sebagai pencapaian kebajikan yang sempurna (QS. Ali ‘Imran: 92).
Mengapa disebut kebajikan yang sempurna? Karena, seorang yang berwakaf berarti telah berhasil menaklukkan ego kepemilikannya. Ia mampu memahami bahwa aset-aset yang dimilikinya hakikatnya bukan miliknya, melainkan sekadar titipan dari Allah. Maka, ia pun melepaskan aset-asetnya dan mengembalikan kepada pemilik sejatinya.
Inilah yang diteladankan oleh Zaid bin Sahl atau populer dengan sebutan Abu Thalhah. Ketika turun QS. Ali ‘Imran ayat 92, ia segera menemui Rasulullah untuk mewakafkan aset terbaik yang dimilikinya. Ia mewakafkan kebun Bairuha yang letaknya sangat strategis, tidak jauh dari Masjid Nabawi.
Kebun Bairuha adalah kebun kurma yang paling dicintai dan dibanggakan Abu Thalhah karena menghasilkan panen memuaskan. Namun, begitu mendengar QS. Ali ‘Imran ayat 92, dengan hati yang teguh, Abu Thalhah mewakafkannya untuk kepentingan umat Islam. Ia melepaskan kepemilikan asetnya dan mengembalikan kepada Allah Maha Pemilik segalanya.