Pada 2022, misalnya, nilai BPIH tercatat sebesar Rp98.379.021,09 per jamaah. Dari nominal tersebut, nilai Bipih yang dibebankan pada jamaah hanya sebesar Rp39.886.009,00, atau setara dengan 40,54 persen saja dari besaran BPIH.
Sedangkan sisanya, yaitu sebesar Rp58.493.012,09 atau mencapai 59,46 persen dari kebutuhan BPIH dipenuhi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji. Pembagian persentase tersebut oleh pemerintah dinilai tidak fair karena semakin lama bakal menggerus dana pokok pengelolaan dana haji.
"Setelah dikurangi (biaya) keberangkatan (jamaah haji) 2022 saja sebesar Rp6 triliun, yang itu kuotanya baru 50 persen (dari jumlah jamaah normal), saldo saat ini tersisa Rp15 triliun," tutur Fadlul.
Artinya, bila diasumsikan bahwa 2023 ini kuota jamaah haji Indonesia telah kembali 100 persen seperti semula, maka dibutuhkan dana keberangkatan sebesar Rp12 trilun. Dengan demikian, pasca keberangkatan haji tahun ini, maka dapat dipastikan saldo nilai manfaat pengelolaan dana haji hanya tersisa Rp3 triliun saja.
"Sehingga dengan asumsi sama, bahwa 2024 kuota (jamaah haji) sudah full, kita harus siapkan Rp12 triliun lagi, sedangkan saldo (nilai manfaat) tinggal Rp3 triliun. Artinya, jika tidak ada kenaikan BPIH, ada kebutuhan Rp9 triliun yang harus kita ambil dari dana pokok (pengelolaan dana haji)," tegas Fadlul. (TSA)