IDXChannel - "You say you love rain, but you use an umbrella to walk under it. You say you love sun, but you seek shelter when it is shining."
Rangkaian kalimat itu dilontarkan oleh legenda musik reggae kelahiran Jamaika, Robert Nesta Marley, atau yang lebih dikenal dunia dengan nama Bob Marley.
Lewat kalimat tersebut, Bob Marley ingin menyoroti betapa paradoksnya kehidupan manusia tentang apa yang ada di pikiran, terucap lewat lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Sebuah keresahan yang kemudian juga banyak disuarakan oleh para pegiat lingkungan untuk menyoroti sikap dan perilaku paradoks masyarakat modern tentang berbagai isu alam.
Bagaimana, misalnya, manusia dengan mudahnya menuliskan kalimat cinta alam di atas kertas hasil dari pohon yang ditebang, atau menghadiri simposium tentang penyelamatan lingkungan, dengan mengendarai kendaraan yang menghasilkan polusi udara.
Dorongan atas semangat menjaga lingkungan secara lebih 'kaffah' alias komprehensif dan menyeluruh dalam dunia usaha tersebut belakangan mulai mengemuka, tidak hanya secara global, namun juga mulai diterapkan di level domestik.
Industri perbankan, misalnya, mulai menginisiasi produk pembiayaan hijau (green financing) yang mensyaratkan calon debitur untuk menerapkan standar pengelolaan lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) yang baik, guna mendapatkan keuntungan lebih dibanding fasilitas pembiayaan konvensional.
Pasar Modal
Seolah tak ingin ketinggalan, ekosistem pasar modal nasional secara bertahap juga mulai mendorong emiten-emiten untuk meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan, sebagai bagian dari penerapan strategi bisnis yang berkelanjutan.
Salah satu milestone yang bisa disebut adalah kerjasama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) pada Juni 2009 untuk menyusun indeks saham yang berisi emiten-emiten dengan kinerja tata kelola finansial, sosial dan lingkungan berkelanjutan yang dianggap cukup baik.
Tak hanya itu, BEI secara bertahap juga mulai mendorong emiten untuk juga menerbitkan Laporan Keberlanjutan (Sustainibility Report/AR) selain Laporan Tahunan (Annual Report/AR) yang menjadi kewajiban setiap perusahaan terbuka, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017.
Terbaru, BEI juga telah bersiap atas penyelenggaraan Perdagangan Bursa Karbon, sebagai bagian dari dukungan atas program dekarbonisasi dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) Indonesia 2060 yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
Atas rencana tersebut, BEI telah menggandeng Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia (Indonesian Carbon Trade Association/IDCTA) sebagai partner dalam menyiapkan bursa perdagangan baru yang ditarget bakal mulai beroperasi pada 2024 tersebut.
Mencoba membahas dan mengupdate informasi rencana tersebut, tim redaksi idxchannel.com berkesempatan berbincang dengan Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik. Berikut ini sebagian hal penting yang kami bahas dalam perbincangan tersebut.
Q: Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan. Mari kita mengawali pembicaraan dengan update informasi tentang rencana BEI melaunching bursa karbon. Seperti apa kelanjutan rencana tersebut? Apakah jadi dilakukan? Ataukah ada revisi?
A: Sejauh ini rencana tersebut masih berjalan dengan baik. Tentu, kami dapat memastikan bahwa penyelenggaraan bursa karbon benar-benar akan berjalan, karena hal tersebut sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Dalam UU tersebut juga sudah diatur mekanisme bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Targetnya, bursa ini sudah bisa kita launching pada 2024 atau 2025 mendatang.
Q: Dengan target tersebut, progressnya sejauh ini sudah sampai mana? Apakah ada timeline yang telah disiapkan agar target launching dapat berjalan sesuai rencana?
A: Kita memang belum ada timeline secara rigid harus seperti apa, karena segala persiapan kita harus sesuaikan dengan pihak-pihak terkait, yang itu sifatnya lintas lembaga. Jadi memang perlu ada penyesuaian-penyesuaian di lapangan.
Untuk progress sejauh ini, kami secara intens terus berkoordinasi dengan OJK sebagai otoritas pemberi izin, dan juga lembaga-lembaga serta kementerian terkait.
Kami berkoordinasi dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian Keuangan, hingga Kemenko Marves (Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi). Artinya, seluruh lembaga dan kementerian yang berkaitan dengan permasalahan karbon ini.
Q: Apa saja poin yang dikoordinasikan dengan kementerian-kementerian tersebut?
A: Ada banyak, mulai dari level teknis sampai ke ranah strategis. Kita bicarakan soal timeline yang Anda bicarakan tadi agar bisa disepakati secara lintas lembaga. Kita juga bahas business model-nya ke depan mau seperti apa. Lalu soal peraturan yang menjadi payung hukum operasional di lapangan. Ini semua kan harus dibahas tidak hanya oleh kita di BEI, namun juga secara bersama-sama dengan teman-teman di kementerian terkait. Ada banyak lah yang memang perlu kita bahas bareng. Tidak bisa buru-buru juga, karena (bursa karbon) ini baru pertama (ada) di kita (Indonesia).
Q: Memang untuk di Indonesia, ini adalah yang pertama dan merupakan inisiatif baru. Namun di negara-negara lain kan sudah berjalan. Apakah ada langkah benchmarking atau studi banding yang dilakukan BEI ke negara-negara tersebut?
A: Tentu saja. Justru memang gambaran awalnya kita bisa pelajari dari bursa karbon yang sudah existing di negara-negara lain. Kita sudah lakukan kajian dan studi banding ke bursa-bursa karbon di kawasan Asia dan juga Eropa.
Q: Ke negara mana saja?
A: Meski tidak semua kita kunjungi secara langsung, tapi tetap kita pelajari, dari bursa karbon di Korea (Selatan), Inggris, Uni Eropa dan juga Malaysia. Kita juga sempat datang langsung ke London Stock Exchange (LSE) pada akhir tahun lalu, karena seperti kita tahu, mereka juga punya voluntary carbon market.
A: Dari segala proses persiapan yang telah berjalan, seperti apa capaian yang didapat? Apakah target launching di 2024 menurut Anda cukup realistis untuk diwujudkan? Atau tidak menutup kemungkinan akan molor, mengingat masih ada banyak lagi tahapan-tahapan yang perlu dilalui?
Q: Kita masih punya waktu sedikitnya satu tahun ke depan untuk mempersiapkan diri. Soal kemungkinan molor, Saya pikir terlalu dini untuk ditanyakan saat ini. Tapi yang jelas, proses terus berjalan dan progressnya cukup bagus. Bisa Saya bilang so far is so good. Soal capaian apa yang sudah didapat, sekali lagi Saya harus tegaskan bahwa ini semua masih dalam proses, dan terlebih lebih, ini menyangkut lintas lembaga. Tapi sejauh ini, semua berjalan cukup lancar. (TSA)
Reporter: Dinar Fitra Maghiszha