“GOTO tidak boleh gagal, seberat apapun tantangannya. Dalam konteks ini, kami meyakini praktik bakar uang bukan cara yang sehat dalam meraih pertumbuhan dan memenangkan persaingan. Strategi bakar uang sudah kami tinggalkan,” katanya.
Dalam konteks perang harga dan kompetisi berdarah-darah, sikap Patrick jelas. Jawabannya tidak berputar-putar atau sekadar berusaha diplomatis.
“Kami memilih fokus pada kekuatan yang kami miliki sendiri. Kami punya kemampuan melakukan itu karena kami unik dengan kekuatan ekosistem yang lengkap dan terintegrasi. Tantangannya adalah mengoptimalkan berbagai kekuatan tersebut dan mempercepat eksekusi,”katanya.
Patrick pun bercerita tentang awal mula perlombaan bakar uang di startup dan mengapa sekarang kondisinya berubah drastis. Dulu, cerita Patrick, kalau konsumen membayar produk, misalkan harga Rp100, maka harga sebenarnya itu Rp120. Selisih 20 perak ini disubsidi oleh pemilik aplikasi.
Lalu kenapa perusahaan menyubsidi atau membiarkan dirinya merugi? “Karena kami ingin pelanggan mau bertransaksi terus di aplikasi. Karena kami ingin menciptakan experience agar nanti mereka mau balik lagi,” katanya.