Praktik bakar ini tentu terus meningkat skalanya seiring membesarnya pangsa pasar. Dulu, dia mencontohkan, bakar Rp20 untuk 1.000 pelanggan, beberapa tahun berikutnya subsidinya bukan lagi untuk 1.000 pelanggan, tapi untuk jumlah yang jauh lebih besar. Ini terjadi seiring bertambahnya jumlah pengguna dan meningkatnya volume transaksi.
Di saat bersamaan, muncul kompetitor baru dari luar negeri dengan sokongan finansial yang lebih besar. Mereka berani jor-joran karena prospek pasar yang besar. Kehadiran kompetitor bermodal kuat itu membuat perlombaan bakar uang semakin menjadi-jadi.
Hingga kemudian, muncul tech winter. Inflasi dan era bunga tinggi membalikkan keadaan dengan sangat cepat. Suku bunga tinggi telah menjadi game changer. Para pembakar uang ini kemudian sadar, semakin terbatas duit investor yang bisa dibakar demi market share.
Melewati musim dingin yang keras, semua pemain di bisnis ini mengubah strategi ke pertumbuhan yang berkualitas. “Kalau masih ada yang pakai cara bakar uang, kami tidak mau ikut- ikutan. Kami meyakini, pelanggan dan mitra akan tetap memakai aplikasi kami karena faktor kenyamanan dan kebutuhan,” katanya.
Tapi, Patrick mengakui, mengandalkan konsumen loyal saja tidak cukup. Segmen pasar yang peka harga juga mesti direbut karena kue terbesar ada di sini.