Bima mengatakan dampak meningkatkan belanja minyak dari Amerika Serikat ini akan membuat pemerintah merogoh kocek lebih dalam pada 2026 untuk memberikan subsidi energi. Sebab pemerintah memproyeksikan alokasi subsidi energi di angka Rp203,4 triliun pada tahun depan, tentu tidak cukup jika harus belanja ke AS.
"Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar," tambahnya.
Lebih jauh, Bima mengatakan kondisi ini akan membuat defisit migas menjadi lebih besar. Sehingga, menurutnya, pemerintah perlu mempercepat transisi energi untuk menggantikan ketergantungan energi fosil yang harganya cukup fluktuatif dan menguras APBN.
"Ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN, dan ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang," kata Bima.
"Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," tambahnya.