"Kalau disana itu juga properti yang bangun itu besar-besar bangat, jadi dia bangun hotel, bangun mal itu besar-bear sekali, sebetulnya secara perhitungan kurang feasible secara bisnis," kata Totok.
Kondisi ini mengancam goncangan pada perekonomian Republik Rakyat Tiongkok. Karena diketahui seperempat dari Produk domestik bruto (PDB) China disumbang dari sektor properti, sehingga properti menjadi hal yang sangat krusial.
Lebih lanjut Totok menjelaskan bahwa kondisi serupa memang masih jauh jika mau ditarik lebih jauh ke Indonesia. Bahkan menurutnya saat ini Indonesia pun masih kekurangan rumah untuk memenuhi angka backlog yang masih sekitar 12 juta.
Namun yang perlu dicermati lebih dalam adalah terkait dampak dari adanya krisis properti yang terjadi. Dampak ketika tersendatnya industri properti yang sebetulnya memiliki multiplier effect yang cukup luas untuk perekonomian suatu negara. Maka menurut Totok pemerintah perlu menjaga titik keseimbangan antara hukum permintaan maupun penawaran khsuusnya di industri properti.
"Jadi jatuhnya suatu value bukan hanya over suply tapi tetapi juga kemampuan masyarakat yang itu harus dijaga di Indonesia," lanjut Totok.