sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Dinilai Diskriminatif, Pelaku Seni Minta Pajak Hiburan Dikaji Ulang

Economics editor Michelle Natalia
13/07/2022 14:52 WIB
Koalisi Seni meminta pemerintah mengevaluasi perbedaan angka pajak hiburan pada berbagai bentuk kesenian di daerah.
Dinilai Diskriminatif, Pelaku Seni Minta Pajak Hiburan Dikaji Ulang (Foto: MNC Media)
Dinilai Diskriminatif, Pelaku Seni Minta Pajak Hiburan Dikaji Ulang (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Koalisi Seni meminta pemerintah mengevaluasi perbedaan angka pajak hiburan pada berbagai bentuk kesenian di daerah. Pasalnya, persentase pajak hiburan yang diskriminatif memengaruhi keberlangsungan bentuk seni tertentu. 

“Pengenaan pajak yang tinggi membuat bentuk seni tertentu menjadi tidak menarik bagi pelaku usaha. Akibatnya, akses masyarakat terhadap seni menjadi terbatas,” ujar Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah, di Jakarta, Rabu (13/7/2022).

Melanjutkan riset yang dilakukan pada 2019, Koalisi Seni mendalami peraturan daerah terkait kebudayaan dan pajak hiburan di 508 kabupaten/kota di Indonesia. Dari situ Koalisi mendapati, pemerintah daerah cenderung memproyeksikan bidang seni sebagai objek pajak, ketimbang mendorong pemajuannya.

Kondisi ini patut dikritisi, mengingat aturan pajak hiburan sendiri hingga kini belum memiliki standardisasi. Baik itu perihal kategorisasi seni yang menjadi objek pajak, maupun persentase pungutannya.

Belum adanya standarisasi ini membuat bentuk seni tertentu rentan mengalami kemunduran. “Di sisi lain, ada potensi pemda bisa sewenang-wenang menentukan bentuk seni tertentu yang ingin mereka majukan,” kata Koordinator Riset Koalisi Seni, Ratri Ninditya.


Ratri menjelaskan, dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, 367 diantaranya memiliki peraturan daerah tentang pajak hiburan. Adapun dari seluruh kabupaten/kota tersebut, hanya 105 daerah yang mempunyai perda terkait kebudayaan, dan 72 di antaranya spesifik merujuk pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). 

“Dari situ kita bisa melihat, aturan soal pajak seni tiga kali lipat lebih banyak dibanding regulasi pemajuan kebudayaan,” ujarnya.

Menurut Ratri, sejatinya tak ada yang salah dengan keberadaan pajak hiburan. Namun idealnya, pendapatan dari pajak hiburan itu juga ikut dirasakan pelaku seni, untuk mengembangkan diri dan ekosistemnya. 

Hal itu sudah diterapkan di sejumlah negara, seperti Prancis dan Swiss yang mengalokasikan pajak hiburan untuk mengembangkan seni alternatif yang bisa dijangkau banyak orang.  

Persentase pungutan dan kategorisasi pajak hiburan sebetulnya sudah diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperbaharui dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

Dalam aturan baru, seluruh jasa hiburan dan kesenian masuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu dan dikenakan tarif maksimal 10%, kecuali kategori “diskotek, kelab malam, dan bar” yang ditentukan 40%-75%. 

Adapun objek pajak hiburan umumnya dikategorisasi menjadi: ‘tontonan film’, ‘pagelaran musik dan tari’, ‘pameran’, ‘kesenian tradisional’, dan ‘diskotik, karaoke, klab malam, dan atau hiburan malam.

Walau aturan itu memberi keleluasaan bagi pemda untuk merancang tarif pajak hiburan, Koalisi Seni menilai perbedaan persentase pungutannya tergolong ekstrem. Jenis hiburan dengan peminat relatif banyak dan skala lebih besar, dikutip pajak lebih tinggi. 

Sebaliknya, hiburan seni yang sepi peminat dibebankan pajak lebih rendah. Dari seluruh peraturan yang ditemukan, pajak paling tinggi ditemukan pada kategori hiburan malam dan pagelaran musik, subkategori musik internasional, yaitu sebesar 75%. 

Pengenaan pajak pada kategori pagelaran musik jelas jauh di atas ketentuan yang tertera di UU, walaupun masih sesuai untuk kategori hiburan malam.  Contohnya pemerintah Kota Palangkaraya, DKI Jakarta, dan Kabupaten Kutai Kartanegara, yang menggolongkan live music sebagai hiburan malam. Sementara kategori pagelaran musik, dibebankan persentase pajak yang berbeda. 

"Apa perbedaan live music dan pagelaran musik, tidak dijelaskan lebih lanjut. DKI Jakarta juga menambahkan deskripsi ‘DJ (disk jockey)’ di dalam kategori hiburan malam. Kategorisasi yang rancu juga ditemukan di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kutai Kartanegara," pungkas dia.

(DES)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement