sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ekonom Faisal Basri Sebut RI Kena Kutukan, Rugi Rp200 Triliun dari Sektor Pertambangan

Economics editor Michelle Natalia
12/10/2021 15:56 WIB
Ekonom senior Faisal Basri menyebut Indonesia telah terkena kutukan sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA).
Ekonom Faisal Basri Sebut RI Kena Kutukan, Rugi Rp200 Triliun dari Sektor Pertambangan (FOTO: Ilustrasi/MNC Media)
Ekonom Faisal Basri Sebut RI Kena Kutukan, Rugi Rp200 Triliun dari Sektor Pertambangan (FOTO: Ilustrasi/MNC Media)

 IDXChannel - Ekonom senior Faisal Basri menyebut Indonesia telah terkena kutukan sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Dalam catatannya Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp200 triliun pada lima tahun terakhir dalam sektor pertambangan

"Ini karena banyaknya 'kebocoran' dalam ekspor dan kebijakan yang menguntungkan pihak asing," ujar Faisal dalam webinar di Jakarta, Selasa (12/10/2021).

Dia mengatakan, pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel, dan pada tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tidak terdapat ekspor komoditas dengan kode HS 2604.

"Tetapi, berdasarkan data General Customs Administration of China, terdapat impor komoditas HS 2604 sebanyak 3,4 juta ton dari Indonesia. Nilai impor itu mencapai USD193,6 juta, atau sekitar Rp2,8 triliun jika mengacu kepada rata-rata nilai tukar JISDOR 2020 senilai Rp14,577 per dolar AS," jelas Faisal.

Pada tahun 2018, China mencatat bahwa terdapat impor nikel dari Indonesia senilai USD2,9 miliar. Kendati demikiam, data ekspor nikel Indonesia ke China saat itu hanya sebesar USD2,6 miliar sehingga terdapat selisih sekitar USD300 juta.

"Lima tahun terakhir kerugian negara sudah ratusan triliun rupiah, ini saja 2020 sudah Rp2,8 triliun. 2018 ini entah under report, entah apa, tapi kita kasih clue-nya. Ini lho yang harus diaudit, biar menyeluruh," ujar Faisal pada Selasa (12/10/2021).

Faisal menyatakan bahwa berdasarkan data Intenational Trade Center, Indonesia banyak mengimpor produk-produk mahal dari China sehingga menyebabkan defisit. Di sisi lain, surplus hanya terjadi dalam perdagangan produk-produk murah atau bernilai tambah rendah, seperti ferro-alloys dan pig iron.

"Ekspor ke China tidak menambah devisa, karena 100% keuntungannya dibawa pulang, tidak ada yang tersisa karena mereka tidak bayar PPh Badan. Untung berapa dari ekspor itu, dalam lima tahun itu setidaknya Rp200 triliun," ujar Faisal.

Sambung dia mengatakan, pengelolaan industri dan perdagangan komoditas bisa berujung petaka bagi Indonesia tanpa kebijakan dan arah pengembangan yang tepat.

"Saat ini Indonesia mengalami kutukan sumber daya alam (SDA), alih-alih berkah SDA untuk mensejahterakan rakyat," pungkas Faisal. (RAMA)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement