Pemerintah Jepang kini mendorong upaya untuk meningkatkan kembali pengolahan pupuk kotoran manusia, dengan alasan bahwa pupuk itu ramah lingkungan.
Selain itu, ada pula kekhawatiran soal ketahanan pangan dalam negeri Jepang sejak perang Rusia-Ukraina. Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang berharap dapat menggandakan jumlah penggunaan pupuk kandang dan kotoran manusia hingga tahun 2030, serta menargetkan penggunaannya hingga 40 persen dari seluruh jenis pupuk yang ada di negara itu.
Namun, di Amerika Serikat, muncul kekhawatiran soal kandungan zat kimia berbahaya PFAS (zat Per- dan polifluoroalkil) dalam pupuk yang terbuat dari kotoran manusia. Seorang perwakilan dari kementerian lingkungan di Jepang yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa mereka tidak menemukan kekhawatiran serupa di negaranya, tapi mengakui belum adanya pedoman mengenai level PFAS di tanah akibat penggunaan pupuk itu.
“Saat ini kami sedang mengembangkan cara yang efektif secara ilmiah untuk dapat mengukur PFAS dan juga mempelajari bagaimana mengaturnya,” ungkapnya. Dilema Penggunaan Pupuk Nobuyoshi Fujiwara, pemilik sebuah perkebunan kol di utara Miura, menyebut salah satu masalah dalam menggunakan pupuk kotoran manusia adalah baunya. Ia mulai memanfaatkan shimogoe sejak tahun lalu untuk memangkas biaya produksi dan turut berperan serta dalam gerakan sosial berupa pemanfaatan daur ulang limbah.
Namun, ia mengatakan, “Kami tidak bisa menggunakannya di perkebunan dekat pemukiman warga, karena ada keluhan tentang baunya. Kami juga harus menaburkan pupuk itu sebanyak empat atau lima kali lebih banyak dari jumlah pupuk kimia.”