“Rp308 triliun itu dampak ekonomi secara general, kalau Rp160 triliun itu dari penerimaan cukai hasil tembakau saja. Sebaiknya ini diajak berunding dulu, karena jangankan asosiasi, kementerian lain saja enggak diajak (berdiskusi bersama Kemenkes). Kita ini negara hukum, ya semestinya harus sesuai dengan hukumnya,” kata dia.
Dari sisi pelaku usaha tembakau, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menjelaskan, rokok ilegal merupakan ekses dari berbagai regulasi yang mencekik. Sekarang, ditambah adanya PP 28/2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes, maka negara harus siap kehilangan triliunan Rupiah.
“Untuk masalah kesehatan, kami sepakat kami tidak mau Indonesia tidak sehat. Tapi, untuk perumusan regulasi ini tidak bisa hanya kesehatan saja yang menjadi pembahasan. PP 28/2024 harus di-review ulang, dan Rancangan Permenkes dihentikan saja. Karena masih banyak kementerian, terutama Kementerian Perindustrian belum diundang,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi pengusaha ritel, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, semestinya permasalahan ekonomi ini dipisahkan dengan kesehatan dan tidak bisa menjadi persoalan pihak kemenkes semata. Roy mengaku sebelum adanya aturan ini, peritel juga masih harus menghadapi maraknya rokok ilegal yang merugikan banyak pihak.